Pejabat Partai Komunis China Otak Kekerasan pada Uighur Dicopot, Disebut Bakal Dipromosikan
China mengganti pejabat Partai Komunis yang terkait dengan tindakan keras yang menargetkan warga etnis Uighur dan Muslim di Xinjiang.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - China mengganti pejabat Partai Komunis yang terkait dengan tindakan keras yang menargetkan warga etnis Uighur dan Muslim di Xinjiang.
Dilansir The Guardian, kantor berita Xinhua mengatakan pada Sabtu (25/12/2021), Ketua Partai Komunis Xinjiang Chen Quanguo telah digantikan sosok lain.
Chen dikatakan akan dipindahkah ke posisi lainnya.
Sementara itu, yang menggantikan Chen adalah Ma Xingrui yang menjabat sebagai Gubernur Pembangkit Tenaga Ekonomi di Provinsi Guangdong sejak 2017.
Perubahan ini terjadi seiring dengan perombakan besar menjelang Kongres Partai ke-20 tahun depan yang dijadwalkan pada musim gugur.
Baca juga: AS Larang Impor Barang Buatan Xinjiang, Tolak Produk Hasil Kerja Paksa Uighur
Baca juga: Jepang Tak Mau Disebut Boikot Diplomatik ke China, Bagaimana Tanggapan Kalangan Bisnis?
Belum jelas apakah perubahan ini menandai perubahan pendekatan China ke Xinjiang.
Beijing akan peka terhadap interpretasi apa pun yang tunduk pada tekanan internasional.
Sejumlah pengamat menilai, Chen mungkin akan dipromosikan saat kongres nanti.
Sementara penggantinya, Ma, mungkin akan fokus pada pembangunan ekonomi kawasan.
Ma, pria 62 tahun ini memiliki latar belakang industri kedirgantaraan.
Sebelum menjadi Gubernur Guangdong ia menjabat sebagai bos partai di Shenzhen dari tahun 2015.
Adapun Chen (66) diangkat menjadi sekretaris partai di Xinjiang pada 2016.
Dia termasuk satu dari 25 anggota politbiro China yang juga masuk dalam daftar sanksi AS.
Pada Kamis sebelumnya, Presiden AS Joe Biden menandatangani undang-undang larangan impor dari Xinjiang karena kekhawatiran soal kerja paksa.
Tindakan ini menuai reaksi keras dari Beijing.
Sejumlah kelompok HAM dan PBB mengatakan, sekitar satu juta warga Uighur dan Muslim di Xinjiang ditahan di kamp-kamp pendidikan ulang.
Kamp itu didirikan dengan alasan memerangi ekstremisme agama dan terorisme.
Sejak 2017, kebijakan Beijing di Provinsi Xinjiang terutama kepada etnis minoritas serta umat Muslim mendapat kritik keras secara global.
Bahkan beberapa anggota parlemen barat menggambarkan pelakuan China terhadap Uighur sebagai genosida, namun tudingan ini telah dibantah Beijing.
Belakangan ini juga muncul suara-suara untuk memboikot Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022 yang akan berlangsung pada Februari mendatang.
PM Kanada Ajak Negara Barat Bersatu Melawan China
Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau mengatakan bahwa negara-negara Barat harusnya memiliki front persatuan melawan China, dalam wawancaranya yang disiarkan pada Sabtu (25/12/2021).
Dilansir Reuters, Trudeau menyebut front Negara Barat itu digunakan untuk mencegah China menggunakan kepentingan komersial untuk mempermainkan mereka satu sama lain.
Perdana menteri ini menilai China 'memainkan' negara-negara Barat dengan cara mengadu domba satu sama lain.
"Kami telah bersaing dan China, dari waktu ke waktu, dengan sangat cerdik mempermainkan kami satu sama lain di pasar terbuka, dengan cara yang kompetitif," katanya dalam sebuah wawancara di TV.
Baca juga: PM Kanada: Negara Barat Harus Punya Front Persatuan Melawan China
Baca juga: Citra Satelit dan Intelijen AS Ungkap Arab Saudi Buat Teknologi Rudal Balistik dengan Bantuan China
"Kita perlu melakukan pekerjaan yang lebih baik untuk bekerja sama dan berdiri kuat sehingga China tidak bisa bermain-main dan memecah belah kita satu sama lain."
Hubungan Kanada dan China memanas sejak penahanan Chief Financial Officer Huawei Meng Wanzhou atas surat perintah ekstradisi AS pada 2018.
Awal bulan ini, Kanada melakukan boikot diplomatik Olimpiade Musim Dingin 2022 di Beijing yang akan digelar pada Februari mendatang.
Kanada dan sekutunya beralasan adanya catatan pelanggaran hak asasi manusia kepada etnis Uighur di Xinjiang.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)