Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pria di Kolombia Jalani Suntik Mati: Saya Tidak Ucapkan Selamat Tinggal, Hanya 'Sampai Jumpa Lagi'

Pria bernama Victor Escobar (60) menjadi orang Kolombia pertama yang meninggal dengan euthanasia legal meski tidak memiliki penyakit mematikan.

Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Pravitri Retno W
zoom-in Pria di Kolombia Jalani Suntik Mati: Saya Tidak Ucapkan Selamat Tinggal, Hanya 'Sampai Jumpa Lagi'
Luis ROBAYO / AFP
Victor Escobar (60), seorang pasien yang menunggu euthanasia, beristirahat di rumahnya pada 13 Oktober 2021 di Cali, Kolombia. Escobar menjadi orang Kolombia pertama yang meninggal dengan euthanasia legal meski tidak memiliki penyakit mematikan. 

TRIBUNNEWS.COM - Pria bernama Victor Escobar (60) menjadi orang Kolombia pertama yang meninggal dengan euthanasia legal meski tidak memiliki penyakit mematikan.

Dilansir NBC News, Escobar menjalani prosedur suntik mati tersebut pada Jumat (7/1/2022), Luis Giraldo pengacaranya mengonfirmasi.

"Kami mencapai tujuan untuk pasien seperti saya, yang tidak miliki penyakit terminal, tetapi degeneratif, untuk memenangkan pertempuran ini, pertempuran yang membuka pintu bagi pasien lain yang datang setelah saya dan yang saat ini menginginkan kematian yang bermartabat," ujar Escobar, dalam pesan video yang dikirim ke media oleh Giraldo.

Escobar menderita penyakit paru obstruktif kronik stadium akhir.

Penyakit itu sangat mengurangi kualitas hidupnya, serta sejumlah kondisi lainnya, ujar Giraldo kepada Reuters.

Baca: Cerita Wanita Kolombia Sebelum Disuntik Mati: Mengaku Tenang dan Lebih Banyak Tertawa

Baca: Permintaan Suntik Mati Wanita Kolombia Dibatalkan, Sang Anak: Kami Siap Perjuangkan Martabatnya

Diana (kanan) istri Victor Escobar, pasien yang menunggu euthanasia, merawat suaminya di rumah mereka pada 13 Oktober 2021 di Cali, Kolombia.
Diana (kanan) istri Victor Escobar, pasien yang menunggu euthanasia, merawat suaminya di rumah mereka pada 13 Oktober 2021 di Cali, Kolombia. (Luis ROBAYO / AFP)
BERITA REKOMENDASI

Prosedur tersebut dilakukan di sebuah klinik di Cali, ibu kota provinsi Valle del Cauca, Kolombia.

"Saya tidak mengucapkan selamat tinggal, hanya 'sampai jumpa lagi'," kata Escobar.

Escobar telah berjuang selama dua tahun mengejar haknya untuk di-euthanasia.

Ia sempat menghadapi tentangan dari dokter, klinik, dan juga pengadilan.

Martha Sepulveda

Martha Sepúlveda
Martha Sepúlveda (mercopress)

Sehari setelahnya, atau pada Sabtu (8/1/2022), orang Kolombia kedua, Martha Sepulveda, yang menderita amyotrophic lateral sclerosis (ALS) atau Penyakit Lou Gehrig, juga di-eutanasia.

Kelompok advokasi hak hukum Kolombia DescLAB, yang mendukung kasusnya, menyebut Sepulveda di-eutanasia di Kota Medellin.

Sepulveda telah didiagnosis dengan penyakit Lou Gehrig pada tahun 2018.

Ia harusnya di-eutanasia pada 10 Oktober tahun lalu, tetapi prosedurnya dihentikan mendadak.

Pejabat kesehatan menangguhkan prosedur itu dengan alasan kesehatannya membaik.

Meskipun ALS secara progresif dapat melumpuhkan tubuh hingga penderitanya meninggal, prosesnya bisa memakan waktu bertahun-tahun dan Sepúlveda tidak dianggap menderita sakit parah.

Diberitakan Tribunnews.com Oktober 2021 lalu, beberapa hari sebelum tanggal euthanasia yang ditetapkan, Sepulveda diwawancarai televisi lokal Noticias Caracol.

Ia bercerita bagaimana hari-harinya merasa lebih tenang dan damai menjelang euthanasia.

"Dalam keadaan saya ini, hal terbaik yang bisa terjadi pada saya adalah beristirahat," katanya.

Kolombia adalah negara pertama di Amerika Latin yang mendekriminalisasi euthanasia sejak tahun 1997.

Kolombia juga merupakan salah satu dari sedikit negara di dunia yang prosedur euthanasia-nya dianggap legal.

Namun, hingga tahun ini, euthanasia hanya diperbolehkan pada pasien dengan penyakit terminal, yaitu pasien dengan harapan hidup 5-6 bulan.

Pada 22 Juli 2021, Mahkamah Konstitusi Kolombia memperluas hak, mengizinkan prosedur euthanasia asalkan pasien menderita penderitaan fisik atau mental yang intens akibat cedera tubuh atau penyakit serius dan tidak dapat disembuhkan, menurut badan EFE.

Setelah mendengar keputusan itu, empat hari kemudian, Sepulveda mengajukan izin euthanasia.

Permintaannya dikabulkan pada 6 Agustus 2021.

"Saya lebih tenang sejak prosedur itu disahkan. Saya lebih banyak tertawa, saya tidur lebih tenang," katanya.

Martha Sepúlveda Campo
Martha Sepúlveda Campo. (Caracol via Noticias Telemundo)

Sepulveda telah mendapat dukungan sebagian besar keluarganya.

Sebelas saudara kandungnya setuju dengan prosedur tersebut.

Putranya selalu berada di sisinya di hari-hari terakhirnya.

"Saya membutuhkan ibu saya, saya ingin dia bersama saya, hampir dalam kondisi apa pun, tetapi saya tahu bahwa dalam kata-katanya, dia tidak lagi hidup, dia hanya bertahan," kata Federico Redondo Sepúlveda kepada Noticias Caracol.

Namun, tidak semua orang dalam keluarga setuju, terutama karena alasan agama.

"Soal ibu saya, masalahnya menjadi lebih sulit," kata Sepulveda.

"Tetapi, saya pikir jauh di lubuk hatinya dia juga memahaminya."

Keputusannya juga menjalani euthanasia menuai kritik keras, apalagi di negara dengan mayoritas penganut Katolik Roma dan di mana gereja masih menyebut eutanasia sebagai "pelanggaran serius."

Konferensi Waligereja Kolombia bahkan kritik setelah keputusan pengadilan pada bulan Juli.

Monsignor Francisco Antonio Ceballos Escobar mengatakan bahwa euthanasia adalah "pembunuhan yang sangat bertentangan dengan martabat pribadi manusia dan rasa hormat ilahi dari penciptanya."

Ia juga menyebut sebaiknya negara merawat orang sakit daripada memfasilitasi prosedur euthanasia, outlet berita lokal melaporkan.

Sepulveda sebenarnya menyadari hal itu.

Ia juga telah mendiskusikannya dengan para pendetanya.

"Saya tahu bahwa pemilik kehidupan adalah Tuhan, ya. Tidak ada yang bergerak tanpa kehendaknya," katanya.

Namun, dia juga berpikir Tuhan mengizinkan tindakannya.

Ketika ditanya tentang mereka yang berpikir dia seharusnya berjuang untuk hidup dan bukannya meminta kematian, Martha mengatakan dia juga sudah melalui perjuangan.

"Saya akan menjadi pengecut, tetapi saya tidak ingin menderita lagi," katanya.

"Untuk berjuang? Saya berjuang untuk beristirahat."

Camila Jaramillo Salazar, seorang pengacara untuk keluarga Sepúlveda, mengatakan keputusan Martha telah mendapatkan banyak dukungan dari Kolombia, meskipun ada kritik dari gereja Katolik.

Menurut valoraanalitik.com, lebih dari 72 persen dari mereka yang disurvei oleh jajak pendapat terbaru Invamer di Kolombia mengatakan mereka setuju dengan euthanasia.

Persentase yang lebih tinggi bahkan terlihat di kota-kota terbesar di negara itu.

"Mungkin Kolombia bisa menjadi negara terkemuka dalam hal kemajuan kematian yang bermartabat," kata pengacara itu kepada Noticias Caracol.

Eutanasia didekriminalisasikan pada tahun 1997 dalam kasus penyakit parah atau mematikan, yaitu ketika pasien menderita banyak rasa sakit.

Pasien dapat memintanya secara sukarela dan dilakukan oleh dokter.

Namun, pemerintah belum memberikan aturan yang mengizinkan prosedur itu hingga 20 April 2015.

Sejak itu, hanya 157 prosedur yang telah dilakukan di negara tersebut, menurut data dari Kementerian Kesehatan.

Untuk setiap lima permintaan euthanasia, dua diotorisasi, kata DescLAB, Laboratorium Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Pasien euthanasia pertama di negara itu adalah Ovidio González Correa.

Ovidio merupakan seorang pria berusia 79 tahun dengan wajah cacat oleh tumor.

Ia kemudian menjadi simbol perjuangan untuk hak euthanasia.

(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas