Kirim Pesan ke Ukraina, Rusia: Tidak Ingin Perang, Tapi Tak akan Biarkan Kepentingan Kami Diabaikan
Rusia mengirimkan sinyal terkuatnya sejauh ini bahwa pihaknya tidak ingin berperang dan akan melakukan negosiasi bersama AS, Jumat (28/1/2022).
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Rusia mengirimkan sinyal terkuatnya sejauh ini bahwa pihaknya tidak ingin berperang dan akan melakukan negosiasi bersama AS, Jumat (28/1/2022).
"Jika itu tergantung pada Rusia, maka tidak akan ada perang. Kami tidak menginginkan perang."
"Tetapi, kami juga tidak akan membiarkan kepentingan kami diinjak-injak secara kasar, diabaikan," kata Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov kepada stasiun radio Rusia dalam sebuah wawancara.
Rusia telah mengumpulkan puluhan ribu tentara di dekat perbatasan Ukraina untuk menuntut pengaturan keamanan pasca-Perang Dingin di Eropa.
Hal ini ditanggapi Amerika Serikat serta sekutu dengan sejumlah ultimatum dan peringatan keras.
Baca juga: Biden Peringatkan Invasi Rusia ke Ukraina pada Februari
Baca juga: Washington Ultimatum Moskow: Jika Tuntutan Tak Dipenuhi, Dubes Rusia Harus Angkat Kaki dari AS
Presiden Vladimir Putin diancam bahwa Rusia akan mengadapi sanksi ekonomi jika menyerang Ukraina.
Dilansir Reuters, Lavrov menilai Barat telah mengabaikan kepentingan Rusia.
Tetapi, kata dia, setidaknya ada "sesuatu" dalam jawaban tertulis AS dan NATO terhadap proposal keamanan yang diajukan Rusia.
Meskipun tanggapan belum dipublikasikan, AS dan NATO telah menyatakan bersedia terlibat dengan Moskow dalam pengendalian senjata dan langkah-langkah untuk membangun kepercayaan.
Namun, mereka mengesampingkan untuk menyetujui tuntutan lain, salah satunya bahwa Ukraina tidak boleh bergabung dengan NATO.
Menlu Lavrov mengatakan, ia berharap dapat bertemu dengan Menteri Luar Negeri AS Anthony Blinken dalam beberapa pekan ke depan.
Katanya, jawaban AS terhadap tuntutan Rusia lebih baik daripada balasan dari NATO.
Saat ini pemerintah Rusia sedang mempelajari tanggapan itu dan Putin akan memutuskan langkah selanjutnya.
Pernyataan yang disampaikan Lavrov adalah yang mendamaikan sejauh ini.
Diketahui, hubungan Ukraina-Rusia belakangan ini memanas hingga melibatkan AS dan sekutunya.
Pemimpin Belarusia, Alexander Lukashenko, yang juga sekutu dekat Rusia mengatakan bahwa negaranya sama sekali tidak tertarik pada perang, Jumat (28/1/2022).
Ia menyebut konflik akan pecah jika hanya Belarusia atau Rusia diserang lebih dulu.
Intelijen Jerman Sebut Moskow Belum Memutuskan
Rusia bersiap untuk menyerang Ukraina, tetapi belum memutuskan apakah akan melakukannya, kata kepala badan intelijen luar negeri Jerman (BND).
"Saya percaya bahwa keputusan untuk menyerang belum dibuat," kata Bruno Kahl kepada Reuters dalam sebuah wawancara.
"Krisis dapat berkembang dalam ribuan cara," tambahnya, dikutip dari Al Jazeera.
Ia menjelaskan prediksi skenario Rusia, termasuk langkah untuk mengacaukan pemerintah Ukraina di Kyiv atau untuk mendukung separatis di timur.
Kahl menolak berkomentar tentang jenis sanksi yang harus dijatuhkan terhadap Rusia jika terjadi serangan.
Namun, ia mendukung pendekatan Jerman untuk membuat Moskow tidak mengetahui langkah apa yang mungkin akan dilakukan.
Awal Mula Konflik Rusia-Ukraina
Ukraina merupakan bagian dari Kekaisaran Rusia selama berabad-abad sebelum menjadi Republik Uni Soviet dan merdeka saat Uni Soviet bubar pada 1991.
Dilansir Al Jazeera, sejak saat itu Ukraina menjalin hubungan dekat dengan Barat dan melepaskan warisan Kekaisaran Rusia.
Pada 2014, terjadi kerusuhan besar yang disebut Revolution of Dignity di Ukraina karena mantan Presiden Viktor Fedorovych menolak perjanjian asosiasi dengan Uni Eropa demi hubungan yang lebih dekat dengan Moskow.
Ini menyebabkan protes besar-besaran untuk menggulingkan Fedorovych dari jabatannya.
Baca juga: Presiden AS Joe Biden Ancam Sanksi Pribadi Terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin Terkait Ukraina
Baca juga: Situasi Memanas, Ini Akar Konflik Ukraina dan Rusia hingga NATO Kirim Bantuan
Menanggapi hal ini, Rusia kemudian mencaplok Semenanjung Krimea di Ukraina dan mendukung kelompok pemberontak separatis di timur Ukraina.
Ukraina dan Barat menuduh Rusia mengirim pasukan dan senjata untuk mendukung pemberontak, namun Moskow berdalih warga Rusia yang bergabung dengan separatis adalah simpatisan.
Menurut Kyiv, lebih dari 14.000 orang tewas dalam pertempuran yang menghancurkan Donbas, jantung industri timur Ukraina.
Sementara itu, Moskow mengecam keras AS dan sekutu NATO-nya karena menyediakan senjata bagi Ukraina dan mengadakan latihan bersama.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.