Dunia Lampaui 400 Juta Kasus Covid-19 yang Diketahui
Jumlah kasus harian memang mulai menurun, namun rata-rata lebih dari 2,7 juta kasus infeksi dilaporkan setiap harinya.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Erik S
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, MARYLAND - Pusat Sains dan Teknik Sistem di Johns Hopkins University mengatakan bahwa dunia melampaui 400 juta kasus virus corona (Covid-19) yang diketahui pada Selasa kemarin.
Data tersebut hanya satu bulan sejak sebelumnya mencapai 300 juta.
Ini adalah peningkatan mengejutkan yang didorong oleh varian Omicron yang bersifat sangat mudah menular, saat pemerintah dan individu di seluruh dunia bergulat menghadapi tahap pandemi berikutnya.
Perlu diketahui, butuh lebih dari satu tahun bagi dunia untuk mencapai 100 juta kasus infeksi yang dikonfirmasi, karena kasus pertama diidentifikasi pada akhir 2019 dan kasus ke 100 juta pada Januari 2021.
Baca juga: Pasien Covid yang Dirawat di RS Jakarta, Banten, dan Bali Masih Rendah Meski Kasus Konfirmasi Tinggi
Selanjutnya, hanya butuh waktu 7 bulan untuk menggandakan jumlah itu, dan kini hanya 6 bulan berikutnya kembali menggandakannya.
Jumlah kasus harian memang mulai menurun, namun rata-rata lebih dari 2,7 juta kasus infeksi dilaporkan setiap harinya.
Jumlah kasus sebenarnya tidak diragukan memang lebih tinggi, dan mungkin begitu drastis.
Banyak hasil rapid test yang diperoleh di rumah namun tidak pernah dilaporkan secara resmi, dan tidak semua orang yang terinfeksi itu menjalani tes karena mereka mungkin tidak memiliki akses, tidak memiliki gejala atau memilih untuk tidak melakukannya.
Baca juga: Polresta Malang Kota: Penyelidikan Wisatawan Positif Covid-19 Liburan di Malang Jalan Terus
Karena virus telah bermutasi, hampir 5 miliar orang telah menerima setidaknya satu dosis vaksin Covid-19 dan penelitian menunjukkan bahwa vaksin masih menawarkan perlindungan terhadap hasil terburuk.
Bentuk virus yang dominan saat ini yakni Omicron, cenderung tidak menyebabkan kasus rawat inap atau bahkan kematian, sehingga penghitungan kasus sendiri menjadi kurang berguna sebagai metrik, setidaknya di tempat-tempat dengan tingkat vaksinasi atau infeksi sebelumnya yang lebih tinggi.
Dikutip dari laman The New York Times, Rabu (9/2/2022), di New York City (NYC), Amerika Serikat (AS) misalnya, kasus memuncak 541 persen lebih tinggi pada musim dingin ini dibandingkan yang lalu, namun kematian meningkat jauh lebih sedikit, memuncak 44 persen lebih tinggi dibandingkan musim dingin lalu.
Baca juga: Jokowi: 325 Juta Dosis Vaksin Covid-19 Telah Disuntikkan ke Masyarakat
Kendati demikian, para ilmuwan telah memperingatkan bahwa perlindungan terhadap infeksi mungkin akan berkurang seiring waktu, dan varian masa depan mungkin lebih mampu menghindari pertahanan yang telah dibuat.
Di sisi lain, banyak negara telah melonggarkan aturan pembatasan karena lonjakan yang dipicu Omicron di banyak tempat diklaim telah mengalami penurunan.
Australia misalnya, negara itu akan segera membuka kembali perbatasannya untuk pengunjung yang telah divaksinasi.
Begitu pula dengan Swedia yang mencabut sebagian besar peraturan pandeminya, mengikuti jejak negara tetangganya yakni Denmark dan Norwegia.
Sedangkan pada minggu ini, Gubernur California, Connecticut, Delaware, New Jersey, dan Oregon di AS mengatakan bahwa mereka akan mengakhiri mandat penggunaan masker dalam ruangan di seluruh negara bagian, beberapa di antaranya diterapkan di sekolah dan yang lainnya di tempat umum.
Seorang Ahli Penyakit Menular dan Ahli Epidemiologi di Kaiser Health News, Dr. Céline Gounder mengatakan dalam sebuah wawancara pada Selasa kemarin bahwa 'apakah relaksasi tersebut tepat atau prematur', itu tergantung pada konteks lokal, termasuk tingkat vaksinasi, jumlah infeksi, dan tingkat rawat inap relatif terhadap kapasitas rumah sakit.
Ia kemudian menjelaskan bahwa flu adalah endemik, begitu pula dengan malaria di banyak belahan dunia.
Virus corona mungkin akan menjadi ancaman yang lebih besar atau lebih kecil di tempat yang berbeda, tergantung pada tingkat vaksinasi dan faktor lainnya.
Menurutnya, varian baru dapat semakin memperumit gambaran, terutama dengan miliaran orang di seluruh dunia yang masih belum divaksinasi.
Mirisnya, menurut proyek Our World in Data di University of Oxford, hanya 11 persen orang di negara-negara berpenghasilan rendah yang telah menerima dosis vaksin Covid-19, dibandingkan dengan 78 persen di negara-negara berpenghasilan tinggi dan menengah ke atas.
Afrika bahkan memiliki tingkat vaksinasi paling lambat di benua manapun, dengan hanya 15,4 persen populasi yang menerima setidaknya satu dosis.
Beberapa orang yang memiliki kondisi cacat, penyakit penyerta (komorbid) atau gangguan sistem kekebalan (immunocompromised) pun tetap rentan, meskipun telah divaksinasi.
Baca juga: Kasus Baru Covid-19 di Singapura Tambah 13.011, Tiga Kali dalam Seminggu Laporkan Lebih dari 10.000
Dan virus corona terus menyebabkan kehancuran, termasuk di AS, di mana virus itu telah membunuh pada tingkat yang jauh lebih tinggi dibandingkan di negara-negara kaya lainnya.
Lebih dari 5,7 juta orang di seluruh dunia telah meninggal karena virus ini, termasuk lebih dari 900.000 kasus di AS saja.
Rata-rata, AS melaporkan 2.598 kematian baru setiap harinya, setara dengan bencana yang lebih buruk dari Pearl Harbor setiap hari.
Secara global, 10.900 orang per hari meninggal akibat Covid-19.
"Kami khawatir bahwa narasi telah dipegang di beberapa negara bahwa karena vaksin dan karena penularan Omicron yang tinggi dan tingkat keparahan yang lebih rendah, tindakan pencegahan penularan tidak lagi mungkin dan tidak lagi diperlukan," kata Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, pada pekan lalu.