Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Ukraina Pernah Ditetapkan Jadi Zona Kuning, Ini Alasan Pemerintah Cabut Status Itu pada Tahun 2017

“Saya tiba di Ukraina pada tanggal 21 April 2017,” kata Yuddy dalam sesi wawancara bersama Direktur Pemberitaan Tribun Network, Selasa (2/3/2022).

Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Ukraina Pernah Ditetapkan Jadi Zona Kuning, Ini Alasan Pemerintah Cabut Status Itu pada Tahun 2017
Tribunnews/Jeprima
Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra (kanan) mewawancarai Mantan Duta Besar RI untuk Ukraina, Yuddy Chrisnandi dalam wawancara ekslusif dengan Tribun Network di Kantor TribunnewsBogor.com, Kota Bogor, Jawa Barat, Senin (28/2/2022). Pada kesempatan tersebut, Yudi Chrisnandi menyerukan agar Pemerintah Indonesia mengambil langkah-langkah inisiatif untuk menengahi konflik bersenjata Rusia dan Ukraina. Tribunnews/Jeprima 

Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pemerintah pernah menetapkan status Ukraina sebagai negara zona kuning, yang artinya wilayah darurat dalam siaga perang setelah pecah perang antara Rusia – Ukraina pada Januari-Februari 2014.

Duta Besar RI untuk Ukraina Periode 2017-2021, Yuddy Chrisnandi bercerita status zona kuning Ukraina akhirnya dicabut pada tahun 2017, saat dirinya bertugas dan setelah mengamati situasi di Ukraina yang mulai nampak kondusif saat itu.

“Saya tiba di Ukraina pada tanggal 21 April 2017,” kata Yuddy dalam sesi wawancara bersama Direktur Pemberitaan Tribun Network, Selasa (2/3/2022).

Baca juga: Pengamat Sayangkan Poin Pernyataan Kemlu RI soal Perang Rusia dengan Ukraina

Saat status Ukraina ditetapkan Kementerian Luar Negeri RI sebagai zona kuning, yang artinya siaga perang, sehingga setiap diplomat yang ditempatkan di sana selalu di rotasi kurang dari 1 tahun.

Alasan rotasi kurang dari 1 tahun, yakni agar para diplomat di Ukraina tidak mengalami depresi hingga ketakutan karena bertugas di wilayah konflik.

Keluarga diplomat pun juga disarankan untuk tidak bersekolah di Ukraina, sehingga kebanyakan keluarga mereka bertempat tinggal di luar Ukraina.

BERITA TERKAIT

“Ada beberapa diplomat yang bertugas, namun keluarganya tidak ikut serta. Sehingga pada saat itu di kedutaan besar relatif hanya diplomatnya saja,” kata Yuddy.

Baca juga: Pria Ukraina Berburu Senjata Api di Tengah Invasi, Sadar Rusia Tak akan Berhenti Menyerang

Pada hari pertama mendarat untuk bertugas di Ukraina, Yuddy merasakan Ukraina sudah menyejukan hatinya.

Negara pecahan Uni Soviet itu tidak menunjukkan zona kuning atau adanya suatu bahaya ancaman perang.

Semuanya berjalan normal di Kota Kiev, tidak ada ketakutan. Bahkan dirinya tidak melihat satu polisi pun di jalanan.

Ia pun juga memantau wilayah konflik di Ukraina Timur, termasuk Donetsk and Luhansk, sebagai wilayah situasi medan pasca perang.

Yuddy menganalisis situasi selama 3 bulan dengan melakukan pendekatan dengan pemerintah Ukraina dan mengunjungi wilayah-wilayah Ukraina.

Setelah melakukan analisis, ia melaporkan situasi riil ke Menlu Retno Marsudi dan Kemlu, serta merekomendasikan supaya status darurat Ukraina dicabut pemerintah RI.

Harapannya tidak ada lagi diplomat yang bertugas dalam tempo yang singkat, dan tidak ada lagi pembengkakan anggaran karena fasilitas yang diberikan kepada keluarga diplomat di luar Ukraina.

“Dengan demikian tidak ada lagi diplomat yang temporary bertugas, tidak ada lagi fasilitas yang diberikan kepada keluarga diplomat yang harus sekolah di luar negeri karena biayanya double. Diplomatnya tinggal di Ukraina, keluarganya di tempat lain,” ujarnya.

Setelah analisis tersebut dilaporkan ke Menlu dan Kemlu RI dan didiskusikan, tidak lama kemudian status darurat Ukraina dicabut pemerintah RI.

Menurutnya, invasi yang dilakukan Rusia kepada Ukraina pada 24 Februari lalu sangat diluar dugaan dan diluar akal, karena Ukraina sangat damai dan toleran.

Mulai dari pemerintahan hingga warga Ukraina itu sendiri tidak ada yang menginginkan perang.

“Walaupun masyarakat muslim di sana hanya 1-2 persen, pemerintahnya sangat toleran. Pada agama apapun, memberikan kesempatan agama untuk berkembang,” ujarnya.

--

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas