China: NATO Dorong Ketegangan Rusia-Ukraina ke Titik Puncak
Juru bicara kementerian luar negeri China menyebut tindakan NATO telah mendorong ketegangan antara Rusia dan Ukraina ke titik puncak.
Penulis: Yurika Nendri Novianingsih
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - China menyebut bahwa tindakan NATO yang dipimpin Amerika Serikat (AS) telah mendorong ketegangan antara Rusia dan Ukraina ke "titik puncak".
Pernyataan itu disampaikan oleh juru bicara kementerian luar negeri China, Zhao Lijian pada Rabu (9/3/2022).
Pada jumpa pers harian, Lijian mendesak Amerika Serikat untuk menanggapi kekhawatiran China dengan serius.
Dia juga meminta AS menghindari merusak hak atau kepentingannya dalam menangani masalah Ukraina dan hubungan dengan Rusia.
Tak hanya itu, Lijian juga mengatakan bahwa China menentang sanksi dan pembatasan sepihak oleh AS, dan mendesak agar kebijakan Washington terhadap Ukraina dan Rusia "tidak boleh merugikan hak dan kepentingan China".
Baca juga: Xi Jinping kepada Pemimpin Eropa: China Bersedia Menengahi Konflik Rusia Vs Ukraina
Baca juga: 22 Tewas, Rusia Bombadir Pemukiman di Sumy Ukraina, Gubernur: Tiga Bom dalam 1 Malam, Mengerikan
"China akan mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk secara tegas membela hak-hak perusahaan dan individu China," kata Zhao, sebagaimana dikutip dari CNA.
Perusahaan China yang menentang pembatasan AS terhadap ekspor ke Rusia dapat terputus dari peralatan dan perangkat lunak Amerika yang mereka butuhkan untuk membuat produk mereka, kata Menteri Perdagangan AS Gina Raimondo kepada New York Times sebelumnya.
Bantuan untuk Ukraina
Palang Merah China akan memberikan sejumlah bantuan kemanusiaan senilai 5 juta yuan atau sekitar Rp 11,3 miliar ke Ukraina.
Hal tersebut disampaikan oleh juru bicara kementerian luar negeri China Zhao Lijian pada Rabu (9/3/202).
Dikutip dari CNA, bantuan yang diberikan berupa kebutuhan sehari-hari.
Invasi Rusia ke Ukraina bulan lalu telah mengirim lebih dari 1,5 juta warga Ukraina melarikan diri ke luar negeri.
Sementara warga yang tersisa di kota Mariupol kehabisan listrik, makanan, dan air minum, setelah lebih dari seminggu pengeboman.
China telah menolak untuk menggambarkan kegiatan Rusia di Ukraina sebagai invasi.