Bocoran Penampakan Pulau Buatan Milik China yang Diduga Jadi Markas Militer di Laut China Selatan
perhatian utama China akhir-akhir ini sepertinya adalah bagaimana mendominasi di Laut China Selatan.
Editor: Wahyu Aji
Awak pesawat AS, kata Joel Martinez, dengan tenang mengingatkan China untuk mematuhi peraturan keselamatan penerbangan, katanya.
Saat pesawat intai P-8A Poseidon terbang serendah 15.000 kaki atau 4.500 meter di dekat terumbu yang diduduki China, terlihat di layar monitor kawasan yang terkesan seperti kota kecil di pulau tersebut, dengan gedung bertingkat, gudang, hanggar, pelabuhan laut, landasan pacu, dan struktur bulat putih yang kata Laksamana Aquilino adalah radar.
Di dekat Fiery Cross, lebih dari 40 kapal yang belum ditentukan jenisnya terlihat membuang sauh.
Aquilino mengatakan pembangunan sistem rudal, hanggar pesawat, sistem radar, dan fasilitas militer lainnya di Mischief Reef, Subi Reef, dan Fiery Cross tampaknya sudah selesai, tetapi masih harus dilihat apakah China akan melanjutkan pembangunan infrastruktur militer di tempat lain kawasan tersebut.
“Fungsi pulau-pulau itu adalah untuk memperluas kemampuan ofensif China di luar pantai kontinental mereka,” kata Laksamana Aquilino, seraya menambahkan, “Mereka bisa menerbangkan pesawat tempur, pesawat pengebom ditambah semua kemampuan ofensif sistem rudal.”
Baca juga: Kata China soal Invasi Rusia ke Ukraina: Waktu akan Membuktikan Kami Berada di Pihak yang Benar
Aquilino mengatakan setiap pesawat militer dan sipil yang terbang di atas perairan yang disengketakan dapat dengan mudah masuk ke dalam jangkauan sistem dan jarak tembak rudal China yang ditempatkan di pulau-pulau tersebut.
“Jadi itu ancaman yang ada, makanya sangat memprihatinkan ini militerisasi pulau-pulau tersebut,” katanya.
“Mereka mengancam semua negara yang beroperasi di sekitarnya, termasuk wilayah laut dan wilayah udara internasional.”
China berusaha untuk menopang klaim teritorialnya yang luas atas hampir seluruh Laut China Selatan dengan membangun pangkalan pulau di atol karang hampir satu dekade lalu.
Amerika Serikat menanggapi dengan mengirimkan kapal perangnya melalui wilayah yang disebutnya misi kebebasan operasional.
Amerika Serikat tidak mengeklaim dirinya sendiri tetapi telah mengerahkan kapal dan pesawat Angkatan Laut selama beberapa dekade untuk berpatroli dan mempromosikan navigasi bebas di jalur air dan wilayah udara internasional.
China secara rutin menolak tindakan apa pun oleh militer AS di wilayah tersebut.
Sementara pihak lain, Filipina, Vietnam, Malaysia, Taiwan, dan Brunei, mengeklaim seluruh atau sebagian Laut China Selatan, alur lalu lintas perdagangan bernilai USD5 triliun setiap tahun.
Terlepas dari agresi China, konflik teritorial yang lama sengit seharusnya diselesaikan secara damai, kata Aquilino, mengutip sukses pemerintah Filipina membawa perselisihannya dengan China ke arbitrase internasional tahun 2013 sebagai contoh yang baik.