Gara-gara Elon Musk Kuasai Twitter, Media China Sebut Ketakutan pada Beijing Jadi Penyakit Amerika
Elon Musk yang kini jadi orang terkaya di dunia, pernah mendorong orang untuk mengunjungi Cina dan melihat sendiri negeri itu.
Penulis: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, BEIJING - Berita pengambilalihan platform microblogging Twitter oleh Elon Musk telah memicu diskusi panas terus menerus di AS.
Beberapa perbincangan dianggap telah melenceng, keluar jalur. Seorang reporter New York Times mencuitkan pertanyaan apakah Twitter akan menjadi platform yang dimanfaatkan Beijing di masa depan.
Cuitan itu diretwit pendiri Amazon, Jeff Bezos. Ada juga suara yang mengatakan Elon Musk harus mencari keseimbangan antara dukungannya untuk kebebasan berbicara dan aktivitas bisnisnya di Cina.
Komentar itu mengindikasikan ketakutan Cina akan memberikan pengaruh di Twitter melalui Elon Musk.
Situs berita Global Times yang dikontrol pemerintah Beijing, Kamis (28/4/2022) menulis di kolom opininya, banyak media Amerika tidak lupa "mengingatkan" orang akan fakta Musk pernah "memuji" Cina.
Baca juga: 5 Hal yang Mungkin Terjadi usai Elon Musk Ambil Alih Twitter, akankah Akun Donald Trump Kembali?
Baca juga: PROFIL Elon Musk, Bos SpaceX dan Tesla yang Kini Membeli Twitter, dari Mana Sumber Kekayaannya?
Baca juga: Elon Musk Resmi Akuisisi Twitter Seharga Rp 634 Triliun
Elon Musk yang kini jadi orang terkaya di dunia, pernah mendorong orang untuk mengunjungi Cina dan melihat sendiri negeri itu.
Pada saat hubungan Cina dan AS terkunci dalam sengketa perdagangan pada 2019, pabrik Tesla di Shanghai mulai berproduksi.
Hanya dalam waktu lebih dari setahun, Tesla buatan Shanghai telah menyumbang lebih dari setengah pengiriman global Tesla.
Sikap Musk Terhadap Kemajuan Ekonomi Cina
Musk telah banyak berurusan dengan Cina dan berbicara beberapa kebenaran tentang ekonomi Cina.
Ini menyebabkan Elon Musk membawa "dosa " oleh beberapa orang Amerika. Banyak yang kini mengaitkan kesepakatan Twitter-Musk dengan Cina.
Asumsi itu menaikkan masalah ini ke tingkat "risiko" atau "ancaman", yang menunjukkan betapa sempitnya ruang pragmatisme dan rasionalitas terhadap Cina di AS.
Insiden serupa telah menjadi umum di AS. Membuat segala yang berhubungan dengan Cina menjadi seperti "penyakit bagi Amerika."
Menghadapi pertumbuhan kekuatan nasional komprehensif Cina yang menutup kesenjangan dengan AS, kepercayaan banyak elite politik di Washington telah menurun.
Orang-orang ini menunjukkan kecemasan dan sensitifitas berlebihan terhadap Cina, termasuk menghebohkan teori "ancaman China".
Setelah Musk mengakuisisi Twitter, beberapa media Amerika bahkan mendesak Musk untuk memutuskan hubungan bisnisnya dengan Cina untuk "menjamin kebebasan berbicara."
Menurut Global Times di editorialnya, kesombongan yang ekstrem seperti itu secara jelas malah menunjukkan kelemahan Amerika.
Fenomena yang menarik adalah banyak diskusi terkait keamanan Cina yang mengandung berbagai “kepentingan pribadi” jika dicermati.
Elite Kaya Amerika Tebarkan Sinophobia
Beberapa pengusaha, seperti George Soros, menyalahkan Cina atas kegagalan mereka karena keputusan investasi yang salah di Cina.
Lainnya, menunjukkan kesetiaan mereka kepada AS. Misalnya, Jeff Bezos sering menekankan keamanan dengan postur patriotik yang menonjol.
Tetapi yang sebenarnya dia lihat adalah pesanan Pentagon yang sangat menguntungkan. Lebih banyak anggota parlemen dan politisi menyentuh topik Cina secara berlebihan.
Ancaman Cina dianggap menjadi pendekatan bisnis diam-diam atau kode untuk mencari perhatian.
Dari perspektif nasional, Sinophobia yang saat ini merajalela di masyarakat Amerika pada dasarnya tidak berbeda dengan "Japanophobia" yang merajalela di 1980-an dan 1990-an.
Dalam kedua kasus, AS menganggap negara-negara itu sebagai pesaing, di mana AS mencoba menekan dengan cara apa pun untuk memastikan keunggulan kompetitifnya sendiri.
Tapi akhir ceritanya akan berbeda karena Washington tidak mungkin bisa mengalahkan Cina dengan cara yang sama seperti memaksa Jepang untuk menandatangani Plaza Accord.
“Kami tidak akan pernah menyerah pada ancaman atau paksaan,” tulis Global Times.
Beijing mengingatkan, terus menerus mempersoalkan Cina tidak dapat menyelamatkan AS. Sebaliknya, itu akan terus mengintensifkan semua masalah yang dihadapi Washington.
"Keangkuhan Amerika selalu berbahaya, tetapi begitu juga ketakutan yang berlebihan, yang dapat menyebabkan reaksi berlebihan," tulis cendekiawan AS Joseph Nye tahun lalu.
"AS dan China harus menghindari ketakutan berlebihan yang dapat menciptakan perang dingin atau panas baru," tambahnya.
Global Times kembali menekankan dalam nada sindiran tajam. “Tampaknya mereka yang sakit tidak mau minum obat,” tulis media itu.
Sementara Elon Musk dalam nada bercanda mencuitkan pernyataan ia akan membeli perusahaan Coca Cola.
Ia berseloroh, begitu menguasai Coca Cola akakn mengembalikan ramuan terkenal, sekarang sangat illegal, yang pernah terkandung dalam minuman itu.
Musk, yang dikenal karena kejenakaan media sosial dan posting trollnya, muncul di Twitter pada Rabu (27/4/2022) malam.
"Selanjutnya saya membeli Coca-Cola untuk memasukkan kembali kokain," canda Musk sembari memainkan meme yang semakin populer yang dipicu pembelian Twitter senilai $44 miliar sebelumnya.
Sementara minuman ringan sejak itu menjadi salah satu ekspor budaya Amerika yang paling diakui secara global.
Formula Asli Coca Cola Gunakan Kokain
Formula aslinya mengandung beberapa bahan terlarang, terutama kokain. Menurut Scientific American, soda masih mengandung ekstrak daun koka.
Tidak jelas kapan tepatnya perusahaan Coca-Cola mengeluarkan obat dari produknya, meskipun kemungkinan beberapa saat setelah perusahaan dibeli dari penemu minuman itu, John Pemberton.
Pemberton dikenal pengguna morfin seumur hidupnya.
Keputusan Musk membeli Twitter secara langsung telah membuat gelombang kegelisahan dalam beberapa hari terakhir.
Para kritikus percaya CEO Tesla akan merombak kebijakan moderasi konten Twitter yang lebih disensor terhadap 'kebencian' dan 'disinformasi.
Musk diduga akan membawa netralitas politik ke platform yang sering dikritik karena dugaan bias sayap kiri.
Di tengah reaksi balik para pencela, Musk sejak itu mengklarifikasi ia mendefinisikan "kebebasan berbicara" sebagai apa pun yang "sesuai hukum".
"Jika orang ingin kebebasan berbicara lebih sedikit, mereka akan meminta pemerintah untuk mengeluarkan undang-undang untuk itu," katanya.
“Oleh karena itu, melampaui hukum bertentangan dengan kehendak rakyat,” cuit Elon Musk, manusia terkaya di dunia saat ini.(Tribunnews.com/GlobalTimes/RusiaToday/xna)