Kolera Mengancam Nyawa Warga Mariupol Ukraina, Sumur Tercemar oleh Mayat Korban Perang
Penyakit kolera mengancam nyawa ribuan orang di Mariupol yang diduduki Rusia karena mayat tidak dikumpulkan di tengah suhu yang meningkat.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Arif Tio Buqi Abdulah
TRIBUNNEWS.COM - Wali Kota Mariupol, Vadym Boychenko, memperingatkan soal penyakit kolera dan penyakit mematikan lainnya yang mengancam nyawa warga.
Boychenko mengatakan, penyakit kolera mengancam nyawa ribuan orang di kota yang diduduki pasukan Rusia ini karena mayat tidak dikumpulkan di tengah suhu yang meningkat.
Boychenko sendiri dilaporkan tidak lagi berada di Mariupol.
Dalam acara di televisi nasional, Wali Kota Mariupol ini mengatakan sumur-sumur telah terkontaminasi mayat korban serangan Rusia.
Ia menyebut pengumpulan mayat berjalan lambat.
Baca juga: Mariupol Ukraina Terancam Hadapi Wabah Kolera akibat Mayat Tidak Terkubur dan Sampah yang Cemari Air
Baca juga: 100 hingga 200 Tentara Ukraina Tewas Setiap Hari di Medan Perang
"Ada wabah disentri dan kolera. Sayangnya, ini adalah penilaian dokter kami: bahwa perang yang mengambil alih 20.000 penduduk sayangnya, dengan wabah infeksi ini, akan merenggut ribuan warga Mariupol lagi," kata dia, lapor The Guardian.
Sebelumnya, ia menyebut Mariupol dikarantina dan tidak ada orang yang diizinkan masuk atau keluar.
Dia mengatakan kepada BBC bahwa banyak orang mati di kota.
"Mereka (pasukan Rusia) belum membersihkan mayat orang-orang yang mereka bunuh dalam pemboman itu. Banyak mayat masih berada di bawah reruntuhan. Masalahnya diperparah dengan tidak adanya pengumpulan sampah – sistem tidak berfungsi sejak Februari," tambahnya.
Situasi menjadi lebih buruk karena sudah memasuki musim panas.
Ditambah hujan lebat merusak tempat pemakaman sementara serta kurangnya sistem air dan pembuangan kotoran, jelas Boychenko.
"Campuran yang dihasilkan mengalir ke sungai dan sumur, di mana orang menggunakannya. Air ini sudah diracuni. Itu sudah menyebar ke seluruh kota."
"Otoritas pendudukan membawa air ke kota, tetapi tidak cukup. Orang-orang masih pergi ke sumur dan mengambil air beracun itu," kata dia kepada BBC.
Kementerian Pertahanan Inggris telah mengatakan bahwa ada risiko wabah kolera besar di Mariupol karena layanan medis di kota ini tidak memadahi.
Rusia disebut sedang berjuang untuk menyediakan layanan publik dasar bagi penduduk di wilayah yang didudukinya.
Sekitar 100.000 orang berada di kota yang pernah memiliki populasi sekitar 430.000 sebelum pasukan Rusia menyerbu negara itu, menurut pejabat Ukraina.
Kota Mariupol luluh lantak setelah berminggu-minggu dikepung dan dibombardir pasukan Rusia.
Pejabat Ukraina memperkirakan 90 % kota hancur.
Kata Ilmuwan
Ilmuwan Amerika menilai badai hujan di Mariupol dapat memicu wabah kolera.
Kota ini berisiko tinggi karena sistem air dan pembuangan limbah rusak akibat pertempuran.
Saat suhu musim panas naik, kondisi menjadi lebih ramah bagi bakteri yang terbawa air yang menyebabkan penyakit.
Profesor rekanan teknik lingkungan Universitas Florida, Antar Jutla, mengatakan hujan deras akan menimbulkan genangan air dan meningkatkan tingkat bakteri.
Jutla dan rekan-rekannya menggabungkan citra satelit, suhu udara dan air, hingga informasi akses ke air bersih untuk memprediksi risiko wabah kolera.
Baca juga: Jerman Janji Berikan Bantuan Medis ke Ukraina
Baca juga: Intelijen Ukraina: Jika Rusia Kuasai Donbas, Mereka Bisa Serang Wilayah Lain hingga Seluruh Ukraina
"Kami tidak mengatakan kolera akan turun besok di Mariupol," kata ahli mikrobiologi Universitas Maryland Rita Colwell, salah satu pemimpin tim, dikutip dari VOA.
"Kami mengatakan risikonya tinggi dan semua faktor ada di sana. Sekarang adalah waktu untuk bersiap, tidak menunggu sampai Anda memiliki ribuan kasus."
Kolera adalah penyakit yang sangat serius yang disebabkan oleh makan makanan atau minuman yang terkontaminasi bakteri Vibrio cholerae, menurut WHO.
Penyakit ini dapat menyebabkan diare berair akut yang parah dan dehidrasi parah.
Anak-anak hingga orang dewasa dapat terjangkit, bahkan kolera dapat membunuh dalam beberapa jam jika tidak diobati.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)