Gotabaya Rajapaksa Tinggalkan Sri Lanka di Tengah Aksi Protes Pengunduran Dirinya
Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa dilaporkan telah meninggalkan Sri Lanka beberapa jam sebelum dia mengundurkan diri.
Penulis: Mikael Dafit Adi Prasetyo
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mikael Dafit Adi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, KOLOMBO – Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa dilaporkan telah meninggalkan Sri Lanka beberapa jam sebelum dia mengundurkan diri.
Dilansir dari Reuters, Rabu (13/7/2022) Rajapaksa, istri dan dua pengawalnya meninggalkan Sri Lanka untuk menuju Maladewa dengan menggunakan pesawat milik Angkatan Udara Sri Lanka.
“Saat ini dia (Rajapaksa) berada di Male, (ibu kota Maladewa). Presiden kemungkinan besar akan melanjutkan ke negara Asia lain dari sana” kata sumber pemerintah.
Baca juga: Jatuh Bangun Dinasti Rajapaksa di Sri Lanka: Akhiri Perang, Tak Mampu Bayar Utang hingga Kini Runtuh
Pelarian Rajapaksa ini sekaligus mengakhiri dinasti politik yang telah mendominasi negara Asia Selatan itu selama dua dekade terakhir.
Sebelumnya, aksi protes akibat krisis ekonomi telah membara selama berbulan-bulan dan memuncak pada akhir pekan lalu, ketika ratusan ribu orang mengambil alih gedung-gedung pemerintah di Kolombo dan meminta Rajapaksa mengundurkan diri sebagai Presiden Sri Lanka.
Para kritikus menyalahkan Rajapaksa dan sekutu mereka atas inflasi yang tak terkendali, korupsi, krisis bahan bakar dan obat-obatan.
Sementara itu, sumber yang dekat dengan Mahinda Yapa Abeywardena, ketua parlemen Sri Lanka, mengatakan bahwa dia belum menerima komunikasi apapun dari Rajapaksa.
Selama menjabat sebagai presiden Sri Lanka, Rajapaksa telah menerapkan pemotongan pajak populis pada tahun 2019 yang mempengaruhi keuangan pemerintah, sementara menyusutnya cadangan devisa, membuat Sri Lanka membatasi impor bahan bakar, makanan dan obat-obatan.
Bensin sangat dijatah dan antrean panjang terjadi di depan toko-toko yang menjual gas. Akibatnya, Inflasi Sri Lanka hampir menyentuh angka 54,6 persen bulan lalu dan bank sentral telah memperingatkan bahwa itu bisa naik menjadi 70 persen dalam beberapa bulan mendatang.