Mantan Presiden Rajapaksa Disarankan Tidak Buru-buru Kembali ke Sri Lanka
Jika Gotabaya Rajapaksa memaksakan diri kembali ke Sri Lanka sekarang, dikhawatirkan akan memicu ketegangan politik.
Penulis: Mikael Dafit Adi Prasetyo
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mikael Dafit Adi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, KOLOMBO – Presiden baru Sri Lanka Ranil Wickremesinghe memberikan pernyataan bahwa saat ini bukan waktu yang tepat bagi mantan presiden Gotabaya Rajapaksa untuk kembali ke Sri Lanka.
Wickremesinghe mengatakan, jika Gotabaya Rajapaksa memaksakan diri kembali ke Sri Lanka sekarang, dikhawatirkan akan memicu ketegangan politik.
Dilansir dari Straitstimes, Senin (1/8/2022) Rajapaksa telah meninggalkan Sri Lanka sejak 13 Juli lalu, setelah penduduk negara itu menyerukan aksi protes dan menuntut Rajapaksa mengundurkan diri dari jabatannya.
Kabur meninggalkan Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa terbang menuju ke Maladewa dan saat ini menetap di Singapura.
Pemerintah Singapura juga telah memberikan perpanjangan izin tinggal selama 14 hari ke depan untuk Rajapaksa.
Baca juga: Singapura Perpanjang Masa Tinggal Mantan Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa
"Saya tidak punya indikasi bahwa dia (Rajapaksa) akan segera kembali." kata Wickremesinghe.
Wickremesinghe tetap berhubungan dengan Rajapaksa untuk menangani masalah serah terima administrasi dan urusan pemerintahan.
Jalani Sidang Petisi Krisis Ekonomi
Pekan lalu, Mahkamah Agung Sri Lanka mengeluarkan pemberitahuan dan meminta Rajapaksa untuk menghadiri sidang di pengadilan pada 1 Agustus 2022.
Baca juga: Kabur ke Singapura, Mantan Presiden Gotabaya Rajapaksa akan Pulang ke Sri Lanka
Mengutip dari Channel News Asia, pemberitahuan itu dikeluarkan sehubungan dengan petisi yang dibuat oleh politisi dan pegawai negeri, yang menuduh Rajapaksa bertanggung jawab atas krisis ekonomi yang melanda Sri Lanka.
Krisis Ekonomi Sri Lanka
Sri Lanka, negara yang berpenduduk sekitar 22 juta jiwa telah dilanda krisis ekonomi terburuk dalam beberapa bulan terakhir.
Sri Lanka dihadapkan pada kekurangan bahan bakar, makanan dan obat-obatan. Krisis itu semakin diperparah oleh pinjaman dalam jumlah besar yang tidak mampu dibayarkan oleh negara itu.
Baca juga: Wickremesinghe Terpilih sebagai Presiden Sri Lanka, Demonstran: Dia Lebih Licik dari Rajapaksa
Akibat krisis itu, Sri Lanka memilih untuk menangguhkan pembayaran pinjaman luaregerinya senilai 51 miliar dolar AS, di mana 28 miliar dolar AS harus dibayar pada tahun 2027.
Di sisi lain, Pemerintah Sri Lanka sedang mempersiapkan rencana restrukturisasi utang, sebagai syarat kesepakatan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk bailout.