Kerusuhan di Irak Tewaskan 12 Pendukung Ulama, WNI Diimbau Tidak Keluar Rumah
KBRI Baghdad mengeluarkan imbauan kepada WNI agar meningkatkan kewaspadaan dan mematuhi aturan yang berlaku selama diberlakukannya jam malam di Irak
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, BAGHDAD - KBRI Baghdad meminta Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di Irak untuk tidak keluar rumah dengan ditetapkannya jam malam akibat kerusuhan yang terjadi di Istana Pemerintahan Irak, Senin (29/8/2022) waktu setempat.
Sebanyak 12 pengunjuk rasa tewas setelah pendukung ulama Muqtada Sadr menyerbu istana pemerintah di Zona Hijau, Baghdad.
Ini setelah pemimpin Syiah yang kuat itu menyatakan berhenti dari politik di Irak.
KBRI Baghdad mengeluarkan imbauan kepada WNI agar meningkatkan kewaspadaan dan mematuhi aturan yang berlaku selama diberlakukannya jam malam di Irak.
"Sehubungan dengan perkembangan keamanan yang tidak kondusif hari ini dan diberlakukannya jam malam di seluruh Irak, dimohon kepada seluruh WNI yang berada di Irak untuk mematuhi aturan yang berlaku dengan tidak keluar rumah dan senantiasa meningkatkan kewaspadaan," ungkap KBRI dalam pernyataannya, Selasa (30/8/2022).
Baca juga: Berita Foto : Pendukung Ulama Ternama Irak Duduki Parlemen
KBRI juga menyediakan nomor hotline bagi WNI jika membutuhkan informasi lebih lanjut.
"Untuk informasi lebih lanjut, KBRI dapat dihubungi melalui nomor +9647500382557 #IniDiplomasi #NegaraMelindungi #IndonesianWay #KBRIBaghdad," ujarnya.
Dilansir AFP pada Selasa (30/8/2022), petugas medis mengatakan 12 pendukung Sadr telah ditembak mati dan 270 pengunjuk rasa lainnya terluka, dan menghirup gas air mata.
Para pengunjuk rasa yang setia kepada ulama Muqtada al-Sadr merobohkan penghalang di luar istana pemerintah dengan tali dan menerobos gerbang istana.
Banyak yang bergegas ke aula marmer istana yang merupakan tempat pertemuan utama bagi kepala negara Irak dan pejabat asing.
Militer Irak mengumumkan jam malam di seluruh negara, perdana menteri Irak juga menangguhkan semua rapat penting akibat kerusuhan itu.
Kerusuhan ini disebut-sebut merupakan perebutan kekuasaan antara Syiah nasionalis yang dipimpin Muqtada Sadr dengan Syiah pro-Iran yang berisi PM Mustafa Kazhimi, eks PM Nuri al-Maliki dan sebagainya yang tergabung dalam PMF (Pasukan Mobilisasi Rakyat).
Partai al-Sadr memenangkan kursi terbesar dalam pemilihan parlemen Oktober, tetapi tidak cukup untuk mengamankan pemerintahan mayoritas.
Penolakannya untuk bernegosiasi dengan saingan Syiah pro-Iran dan keluar dari perundingan telah melambungkan negara itu dalam ketidakpastian politik di tengah meningkatnya perselisihan intra-Syiah.