Pemimpin Junta Myanmar Min Aung Hlaing Kunjungi Moskow Lagi
Pemimpin junta Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing untuk kedua kalinya berkunjung ke Moskow, Rusia pada Senin
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, MOSKOW - Pemimpin junta Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing untuk kedua kalinya berkunjung ke Moskow, Rusia pada Senin (5/9/2022).
Ini merupakan kunjungan keduanya dalam dua bulan di tahun 2022.
Reuters menyebut, Min Aung Hlaing pertama kali mengunjungi Moskow sebagai pemimpin pada Juni tahun lalu, ketika kedua belah pihak berkomitmen untuk memperkuat kerja sama militer.
Pemimpin Junta kembali berkunjung pada bulan Juli 2022, dan dikatakan pihak Rusia kunjungan tersebut sebagai kunjungan pribadi.
Media pemerintah Myanmar mengatakan kunjungan Min Aung Hlaing kali ini akan menghadiri pertemuan puncak ekonomi, mengunjungi landmark, universitas dan pabrik dan para menteri serta pejabat senior militernya akan bertemu dengan rekan-rekan dan melakukan kerja sama yang mereka sebut "cement friendly cooperation".
Militer Myanmar yang berkuasa mencoba untuk menopang salah satu dari sedikit aliansi diplomatiknya karena mendapat tekanan internasional yang meningkat.
Rusia merupakan sumber utama perangkat keras militer untuk Myanmar.
Baca juga: Junta Myanmar Min Aung Hlaing Dituduh Melakukan Kejahatan Kemanusiaan, Menumpas Pengunjuk Rasa
Rusia juga salah satu negara pertama yang menyuarakan dukungan untuk junta setelah kudeta, pada saat itu menerima kecaman internasional.
Rusia telah memberi Myanmar vaksin Covid-19 dan Myanmar berencana mengimpor bensin dan bahan bakar minyak Rusia untuk meredakan kekhawatiran pasokan, karena Rusia mencari sumber bisnis baru di tengah sanksi Barat atas invasinya ke Ukraina.
Junta Myanmar telah terkena serangkaian sanksi yang menargetkan para jenderal dan jaringan bisnis luas yang dioperasikan militer.
Jenderal Senior Min Aung Hlaing telah dilarang mewakili Myanmar di sebagian besar pertemuan internasional sejak memimpin kudeta awal tahun lalu terhadap pemerintah terpilih yang dipimpin oleh Peraih Nobel Aung San Suu Kyi.
PBB dan para aktivis menuduh militer Myanmar melakukan kekejaman dan kejahatan terhadap kemanusiaan dan telah mendesak masyarakat internasional untuk menghentikan penjualan senjata, dengan Rusia dipilih untuk memasok drone, jet dan sistem pertahanan udara sejak kudeta.
Militer Myanmar mengatakan sedang memerangi "teroris" dan berusaha memulihkan perdamaian dan menegakkan kembali pemerintahan demokratis setelah pemilihan umum 2020 yang dikatakan dirusak oleh penipuan.