Lebih dari 60 Orang Tewas dalam Serangan Etnis di Oromiya Ethiopia
Pernyataan ini disampaikan Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) negara itu (EHRC) pada Selasa kemarin.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, ADDIS ABABA - Sekelompok bersenjata telah membunuh lebih dari 60 warga Ethiopia dan membuat 20.000 lainnya mengungsi selama 3 hari, karena dipicu aksi kekerasan bermotif etnis pada akhir Agustus lalu.
Pernyataan ini disampaikan Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) negara itu (EHRC) pada Selasa kemarin.
Oromiya yang merupakan rumah bagi kelompok etnis terbesar kedua di Ethiopia (Oromos) dan bagi komunitas lain seperti Amhara telah mengalami peningkatan kasus kekerasan selama dua tahun terakhir.
Baca juga: PBB Serukan Gencatan Senjata di Tengah Pertempuran di Ethiopia Utara
Hal ini dipicu oleh beberapa masalah yakni keluhan dari etnis dan ketegangan politik.
Dikutip dari laman The Daily Star, Rabu (7/9/2022), EHRC yang ditunjuk negara itu untuk menangani masalah HAM ini mengatakan bahwa pertumpahan darah terbaru dimulai pada 29 Agustus lalu.
Saat para pejuang dari Tentara Pembebasan Oromo (OLA) yang berusaha merebut kota Obora, kemudian akhirnya menewaskan 3 orang dari etnis Amhara.
Selama dua hari berikutnya, kata EHRC, orang dari etnis Amhara dan distrik sekitarnya, termasuk dari seberang perbatasan dengan wilayah Amhara melancarkan pembunuhan balasan terhadap Oromos.
"Selama serangan dua hari itu, lebih dari 60 orang tewas dan lebih dari 70 terluka. Selain itu, harta benda dan ternak pun dijarah. Akibat dari serangan itu, lebih dari 20.000 orang mengungsi dan kini berada di kota Obora," kata EHRC yang mengutip informasi dari penduduk dan pejabat setempat.
Perlu diketahui, kekerasan di Oromiya ternyata berbeda dengan konflik yang terjadi di wilayah utara Tigray yang melibatkam tentara federal Ethiopia dengan pasukan yang setia kepada Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF).
Baca juga: 260 Warga Sipil Tewas dalam Serangan Etnis di Oromia Ethiopia
Namun, kedua krisis tersebut berakar pada keluhan dan persaingan yang terjadi selama beberapa dekade sejarah penuh gejolak Ethiopia.
Konflik ini pun diperburuk oleh perkembangan politik negara itu dalam beberapa tahun terakhir.
TPLF dan OLA membentuk aliansi pada tahun lalu, langkah ini tentu saja menjadi sorotan pemerintah yang kemudian mengintensifkan tindakan keras terhadap kelompok bersenjata Oromiya.
Sebelum konflik pecah, keluarga Oromo telah lama mengeluhkan marginalisasi dan pengabaian yang dilakukan oleh pemerintah pusat Ethiopia.
Mereka berharap nasib mereka akan membaik setelah membantu Perdana Menteri (PM) Abiy Ahmed untuk berkuasa.
PM Ahmed merupakan keturunan campuran etnis Oromo dan Amhara.
Namun ternyata banyak yang kecewa dengan kepemimpinan Ahmed, Analis Politik mengatakan bahwa beberapa reformasinya tampaknya telah mendorong para penguasa regional untuk berusaha membangun basis dukungan etnis, terkadang melalui cara-cara kekerasan.