Alasan Jepang Legalkan Aborsi Menurut UU Kesehatan Ibu dan Kontroversinya
Alasan Jepang legalkan aborsi menurut UU Kesehatan Ibu dan kontroversinya. Ada dua prosedur aborsi di Jepang, yaitu bedah dan pil, yang terbaru.
Penulis: Yunita Rahmayanti
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Aborsi di Jepang kembali menjadi sorotan setelah subkomite Dewan Urusan Farmasi dan Sanitasi Makanan Kementerian Kesehatan Jepang menyetujui pil aborsi dari Inggris pada Jumat (21/4/2023).
Pil aborsi itu dikembangkan oleh Linepharma International Ltd Inggris, berupa paket pil Mefeego, seperti diberitakan NDTV.
Pil aborsi di Jepang ini memberikan alternatif untuk prosedur aborsi secara bedah di tengah seruan hak reproduksi perempuan dan kesetaraan gender.
Jepang melegalkan aborsi hanya dalam kondisi tertentu.
Aturan aborsi ini berada di bawah Undang-Undang Kesehatan Ibu, yang awalnya diundangkan pada tahun 1948 sebagai Undang-Undang Perlindungan Eugenika.
Baca juga: Kyoichiro Sugimoto, pria Jepang mualaf yang berusaha menghapus citra negatif Islam
UU Aborsi di Jepang
Aborsi di Jepang dapat dilakukan jika kelanjutan kehamilan atau kelahiran bayi akan membahayakan kesehatan ibu karena alasan fisik atau ekonomi, jika kehamilan membahayakan kesehatan anak dan hidupnya atau jika mereka menghadapi gangguan serius.
“Alasan ekonomi” didefinisikan oleh kementerian kesehatan Jepang sebagai melahirkan akan menimbulkan beban ekonomi yang signifikan bagi ibu dan rumah tangganya, dan merusak kesehatan ibu.
Aborsi juga dapat dilakukan jika janin tidak dapat bertahan hidup di luar tubuh wanita, atau jika kehamilan disebabkan oleh rudapaksa atau intimidasi, dikutip dari The Japan Times.
Namun aborsi harus dilakukan dalam waktu 21 minggu sejak hari pertama haid terakhir.
Selain itu, wanita menikah yang ingin melakukan aborsi harus mendapatkan persetujuan pasangan.
Satu-satunya pengecualian adalah ketika pasangan meninggal, tidak diketahui atau tidak dapat mengungkapkan niat.
Baca juga: Terpikat Bunga Sakura, Jumlah Pelancong ke Jepang Melonjak Maret 2023
Masalah Aborsi di Jepang
Para ahli dan pembela hak-hak perempuan di Jepang mengatakan, UU aborsi di Jepang bermasalah, terutama dalam dua hal, yaitu perempuan menikah yang ingin melakukan aborsi memerlukan persetujuan pasangan, dan prosedur yang digunakan tidak aman dan mahal.
Kementerian Kesehatan Jepang mengatakan, persetujuan pasangan tidak diperlukan untuk wanita yang belum menikah dan wanita yang dihamili oleh pasangan yang kasar atau melalui rudapaksa, namun kebijakan ini tidak dikenal luas.
Sehingga, dokter sering meminta tanda tangan pria karena takut mendapat masalah hukum.
Biaya aborsi adalah masalah besar di Jepang.
Aborsi bedah yang dilakukan dalam delapan minggu pertama kehamilan menelan biaya sekitar ¥100.000 ($740).
Sementara yang dilakukan setelah minggu ke-12 dapat menelan biaya dua kali lipat.
Jumlah perempuan yang berjuang untuk membayar prosedur tersebut telah meningkat sejak pandemi dimulai.
Pada Desember 2022, LinePharma Inggris mengajukan persetujuan pil aborsi oral ー mifepristone dan misoprostol ー dengan Kementerian Kesehatan Jepang.
Obat-obatan ini, yang digunakan di lebih dari 70 negara, dianggap sebagai metode yang aman dan terjangkau untuk menginduksi aborsi pada tahap awal kehamilan.
Baca juga: Memasuki Stasiun Pakai Sensor Muka Tak Perlu Lagi Tiket Kereta di Osaka Jepang
Kontroversi Aborsi di Jepang
Meski Jepang melegalkan aborsi untuk kondisi tertentu, namun pandangan agama telah memainkan peran utama di masyarakat.
Aborsi terus mendapat stigma di masyarakat, karena dianggap sebagai dosa perempuan atau tanda keibuan yang buruk, atau bahkan disamakan dengan pembunuhan ibu terhadap bayinya.
“Biasanya di Jepang, hanya perempuan yang dianggap bertanggung jawab atas aborsi,” Tsukahara menjelaskan dalam makalah tahun 2014 yang membandingkan metode dan nilai aborsi di berbagai negara, dikutip dari The Japan Times.
“Oleh karena itu, aborsi harus menjadi salah satu masalah yang sangat kritis yang menjadi sasaran upaya untuk mengakhiri diskriminasi gender di negara ini, tetapi kepentingan ini agak tidak diakui di kalangan masyarakat Jepang,” lanjutnya.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)