AS Nekat akan Kirim Bom Cluster ke Ukraina, Joe Biden: Kyiv Kehabisan Amunisi
Amerika Serikat akan mengirim bom cluster ke Ukraina untuk mendukung artileri konvensional. Presiden AS Joe Biden mengatakan Kyiv kehabisan amunisi.
Penulis: Yunita Rahmayanti
Editor: Nuryanti
TRIBUNNEWS.COM - Penasihat keamanan nasional Amerika Serikat (Pentagon), Jake Sullivan, mengatakan AS akan mengirim bom cluster atau munisi/bom tandan ke Ukraina sebagai bagian dari pasokan senjata.
Bom tandan adalah munisi terlarang yang dapat menimbulkan risiko besar.
Namun, Pentagon beralasan bom cluster AS lebih aman daripada yang sudah digunakan Rusia dalam perang Ukraina.
“Kami menyadari bahwa bom cluster menimbulkan risiko bahaya sipil dari persenjataan yang tidak meledak,” kata Jake Sullivan kepada wartawan, Jumat (7/7/2023).
“Inilah mengapa kami telah menunda keputusan selama kami bisa," tambahnya, membela keputusan Pentagon.
Jake Sullivan lalu membandingkan risiko yang jauh lebih besar jika AS membiarkan wilayah Ukraina dicaplok oleh Rusia.
"Tetapi ada juga risiko kerusakan sipil yang sangat besar jika pasukan dan tank Rusia menggulingkan posisi Ukraina dan mengambil lebih banyak wilayah Ukraina dan menaklukkan lebih banyak warga sipil Ukraina,” lanjutnya, dikutip dari Al Jazeera.
Baca juga: Amerika akan Kirim Bom Cluster untuk Ukraina, Apa Itu dan Mengapa Begitu Kontroversial?
Jake Sullivan mengatakan, bom cluster akan berfungsi sebagai pelengkap artileri konvensional saat AS meningkatkan produksi bom dan peluru biasa untuk Ukraina.
"Senjata-senjata itu adalah bagian dari tahap bantuan militer AS ke Ukraina yang juga mencakup kendaraan lapis baja dan senjata anti-lapis baja," kata Pentagon.
Jake Sullivan mengatakan, AS memiliki jaminan tertulis dari Ukraina, yang menyatakan pasukan Ukraina akan menggunakan bom cluster dengan hati-hati untuk meminimalkan kerugian sipil.
Presiden AS, Joe Biden, membela keputusan tersebut, yang sangat sulit untuk dilakukan.
"Itu adalah keputusan yang sangat sulit bagi AS, tapi Ukraina kehabisan amunisi," kata Joe Biden.
Sementara itu, Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky dan pejabat senior Ukraina lainnya meminta stok baru senjata cluster (bom cluster).
Mereka mengatakan, itu adalah cara terbaik untuk menerobos parit Rusia yang memperlambat serangan balasan Ukraina.
Selain itu, Ukraina mengakui sedang kehabisan peluru artileri konvensional.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal NATO, Jens Stoltenberg, menyarankan agar anggota NATO tidak melibatkan diri dalam masalah ini dan meminta mereka membuat kebijakan sendiri.
“Amunisi cluster sudah digunakan dalam perang di kedua sisi. Perbedaannya adalah Rusia menggunakan munisi tandan dalam perang agresi untuk menduduki, mengendalikan, menyerang Ukraina. Sementara Ukraina menggunakannya untuk mempertahankan diri dari agresi,” kata Stoltenberg kepada Al Jazeera.
PBB dan Aktivis HAM Kecam Penggunaan Bom Cluster
Baca juga: Serangan Rudal Rusia di Lviv, 6 Warga Ukraina Tewas termasuk Penyintas Perang Dunia II
Farhan Haq, juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, mengatakan PBB mengecam penggunaan bom cluster dalam perang.
"Sekjen PBB Antonio Guterres mendukung Konvensi Munisi Curah (bom cluster) yang seperti Anda ketahui, diadopsi 15 tahun lalu. Dia inign negara-negara mematuhi ketentuan konvensi itu," kata Farhan Haq, dikutip dari RT.
"Dia tidak ingin penggunaan munisi tandan terus berlanjut di medan perang," tambahnya.
Selama perang Rusia-Ukraina, Human Rights Watch (HRW) mengkritik kedua negara itu yang menggunakan senjata cluster mereka dalam perang.
Baca juga: Eks Presiden Rusia Medvedev: Perang di Ukraina Bisa Cepat Selesai jika NATO Tak Pasok Senjata
HRW mencatat, Rusia secara ekstensif menggunakan bom cluster yang membunuh dan melukai warga sipil.
Sementara serangan roket dengan bom cluster Ukraina di Kota Izyum yang diduduki Rusia pada tahun 2022, telah menewaskan 8 warga sipil dan melukai 15 lainnya.
Saat itu, Ukraina membantah HRW dengan mengatakan tidak menggunakan bom cluster di Kota Izyum.
“Amunisi cluster yang digunakan oleh Rusia dan Ukraina membunuh warga sipil sekarang dan akan terus melakukannya selama bertahun-tahun,” kata Mary Wareham, penjabat direktur senjata HRW.
“Kedua belah pihak harus segera berhenti menggunakannya dan tidak mencoba mendapatkan lebih banyak senjata sembarangan ini,” lanjutnya.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)