Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pasang Surut Studi Tentang China, Kebangkitan RRC Perlu Kajian Kritis

Iklim demokrasi yang makin terbentuk di era reformasi ini membawa kebebasan bagi dilaksanakannya kajian tentang China di Indonesia.

Penulis: Choirul Arifin
zoom-in Pasang Surut Studi Tentang China, Kebangkitan RRC Perlu Kajian Kritis
Podcast Universitas Indonesia
Profesor A. Dahana, guru besar purna bakti Studi China di Universitas Indonesia 

“Di Indonesia, kajian mengenai China mulai berkembang pada periode akhir zaman kolonial, khususnya sejak dasawarsa pertama abad yang lalu, ketika minat terhadap masalah-masalah China kontemporer mulai berkembang, terutama di kalangan orang-orang Tionghoa.

Munculnya minat tersebut dipengaruhi oleh perkembangan politik di negeri tersebut, khususnya setelah mencuatnya nama dua orang tokoh politik terkemuka, yaitu Kang Youwei dan Dr. Sun Yat-sen,” tutur Dahana.

Menurutnya, pada akhir dekade pertama abad yang lalu, di Batavia berdirilah asosiasi yang menamakan dirinya Soe Po Sia (Shubaoshe, secara harfiah berarti Ruang Baca), yang menjadi tempat berhimpunnya golongan muda etnik Tionghoa yang mengadakan diskusi-diskusi tentang segala perkembangan yang terjadi di China.

Sementara itu, kurang lebih pada waktu yang sama, Pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan sebuah badan yang diberi nama Kantoor voor Chineesche Zaken (Kantor Urusan China), yang bertugas antara lain sebagai pemberi saran kepada pemerintah kolonial dalam berhubungan dengan masyarakat Tionghoa.

“Namun munculnya Sinologi di Indonesia sebagai suatu kegiatan akademik barulah terjadi setelah Perang Dunia II berakhir, setelah dua sarjana hukum Belanda, Prof. Dr. Van der Valk dan Dr. Mr. Meyer, mendirikan Sinologische Instituut (Lembaga Sinologi) dengan dibantu oleh Dr. R.P Kramers pada tahun 1947,” tutur Dahana.

“Sesuai dengan namanya, lembaga yang mereka dirikan itu bertujuan mendidik ahli-ahli China dalam tradisi Sinologi,” jelas beliau. Generasi pertama sinolog Indonesia yang dihasilkan oleh lembaga di atas kebanyakan berlatar belakang etnik Tionghoa, antara lain adalah Sie Ing Djiang, Li Chuan Siu, Tan Lan Hiang, dan Tan Ngo An.

“Belakangan, lembaga yang menjadi cikal bakal Program Studi China Universitas Indonesia itu diperkuat dengan kedatangan Profesor Tjan Tjoe Som, sinolog tamatan Universitas Leiden yang memilih mengabdi di negaranya, alih alih menjadi profesor di negeri Belanda,” tutur Dahana.

Berita Rekomendasi

Profesor Tjan Tjoe Som dan sinolog Indonesia generasi pertama itulah yang melahirkan para sinolog-sinolog generasi berikutnya, termasuk Profesor Gondomono, Dr. Ignatius Wibowo, dan jurnalis senior Rene Pattiradjawane,” pungkas Dahana.

Baca juga: Indonesia Diminta Waspadai Gerakan China-Kamboja di Laut China Selatan

Namun Dahana menyayangkan kecenderungan akhir-akhir ini, seiring dengan era kebangkitan China, yang menurut beliau cenderung melemahkan Sinologi. “Kini makin banyak jurusan yang menamakan diri jurusan atau program studi China, namun hanya menitikberatkan pada pengajaran bahasa Mandarin,” pungkasnya.

Selain itu, Dahana juga menyatakan keprihatinan dengan kecenderungan pengamat-pengamat tertentu yang kehilangan sikap kritis dalam melakukan kajian terhadap China. “Padahal penting bagi bangsa Indonesia untuk memperoleh pengetahuan yang obyektif tentang China, yang diperoleh melalui proses belajar yang kritis,” tuturnya.

Senada dengan Profesor Dahana, Profesor Hermina Sutami mengatakan bahwa studi China merupakan merupakan kegiatan ilmiah mempelajari negara Tiongkok/China di bidang tertentu.

Baca juga: Pembentukan Pusat Studi Laut China Selatan dan Laut Natuna Utara di Kepri

Sedangkan sinologi merupakan ilmu pengetahuan di bidang tertentu mengenai negara China. Dalam pandangan beliau studi China atau sinologi saat ini menghadapi banyak tantangan. Antara lain bagaimana mempelajari bahasa Mandarin sesuai dengan fungsi mempelajari bahasa asing?

Fungsi tersebut, menurut Sutami, antara lain sebagai alat komunikasi dengan bangsa lain, mempercepat proses pembangunan bangsa dan negara Indonesia, serta memanfaatkan ilmu dan teknologi negara asing yang bahasanya dipelajari dalam menghadapi persaingan bebas.

Tantangan lainnya adalah bagaimana mengembangkan studi China guna memahami negara Tiongkok dari berbagai bidang ilmu agar terjalin hubungan harmonis antara Indonesia dengan Tiongkok.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas