Nasib Pendidikan Anak di Myanmar dalam Krisis Pascakudeta Junta Militer
Setelah kekerasan meletus di Myanmar setelah kudeta tahun 2021, sebagian besar siswa sekolah menengah di kota terpencil Thantlang meninggalkan sekolah
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, YANGON - Pendidikan di Myanmar dalam 'krisis' saat pemberontakan berkecamuk, dimana para guru dan relawan berusaha keras agar sekolah dasar tetap dapat diakses di daerah-daerah yang dilanda kekerasan
Setelah kekerasan meletus di Myanmar setelah kudeta tahun 2021, sebagian besar siswa sekolah menengah di kota terpencil Thantlang meninggalkan sekolah.
Mereka ikut mengangkat senjata untuk mendukung pemberontakan akar rumput melawan militer, kata guru sekolah setempat Salai.
Menukil Reuters, Myanmar menjadi salah satu negara termiskin di Asia Tenggara setelah dilanda pertempuran yang meluas sejak kudeta.
Bank Dunia dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada Juli menyebut hanya sekitar 22 persen siswa yang memenuhi syarat terdaftar di tingkat sekolah menengah atas.
Baca juga: Pertemuan Bilateral Menlu RI dan Jepang Bahas Myanmar Hingga Laut Cina Selatan
"Secara keseluruhan, tingkat pendaftaran di lembaga pendidikan Myanmar telah turun lebih dari 12% antara tahun 2017 dan 2023," kata Bank Dunia, menggarisbawahi "krisis dalam akses pendidikan".
Seorang juru bicara junta tidak menjawab panggilan telepon untuk meminta komentar.
Myanmar jatuh ke dalam kekacauan pada Februari 2021 ketika militer negara itu menggulingkan pemerintah terpilih dan dengan keras menindak protes berikutnya, yang menyebabkan pemberontakan meluas yang telah menewaskan ribuan orang.
Berdasarkan survei terhadap hampir 8.500 rumah tangga, sejumlah besar anak-anak di Myanmar belum kembali ke sekolah, kata Bank Dunia.
Sementara negara-negara lain di kawasan ASEAN, pendidikan bangkit kembali setelah pandemi Covid-19.
Guru dan siswa di Myanmar telah berada di garis depan gerakan oposisi melawan kekuasaan militer selama beberapa dekade.
Banyak guru bergabung dengan gerakan pembangkangan sipil sejak kudeta dan mengganggu sektor pendidikan.
“Mengingat bahwa negara ini mengalami tren kenaikan tingkat pendaftaran di semua tingkatan sebelum tahun 2017, penurunan jumlah anak yang terdaftar antara tahun 2017 dan 2023 menunjukkan adanya krisis dalam akses pendidikan,” kata laporan tersebut.
Di beberapa bagian Myanmar, bahkan para siswa yang kembali ke ruang kelas sedang berjuang, dengan para guru dan sukarelawan berjuang agar sekolah dasar tetap dapat diakses di daerah-daerah yang dilanda kekerasan.
“Tantangan terbesar bagi kami adalah kekurangan guru yang berkualitas,” kata Salai dari Thantlang, yang hanya meminta sebagian namanya digunakan untuk alasan keamanan.
Sekitar 1.100 guru sukarela membantu administrasi paralel mendidik sekitar 17.000 siswa di Thantlang, beberapa dari mereka menghadiri kelas di bawah lembaran plastik yang ditopang oleh bingkai kayu, menurut Salai, yang mengawasi sistem tersebut.