Ratusan Siswi Prancis Kenakan Abaya Muslim, 67 Orang Dipulangkan Pihak Sekolah
Menteri Pendidikan Prancis, Gabriel Attal, mengatakan bahwa hampir 300 siswa datang ke sekolah dengan mengenakan abaya.
Penulis: Muhamad Deni Setiawan
Editor: Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Menteri Pendidikan Prancis, Gabriel Attal, mengatakan hampir 300 siswa datang ke sekolah mengenakan abaya, gamis yang biasa dipakai oleh perempuan muslim.
Pakaian tersebut dilarang untuk dikenakan di sekolah Prancis sehingga para gadis yang mengenakannya diminta untuk berganti pakaian.
Dilansir BBC, 298 anak perempuan - sebagian besar berusia 15 tahun atau lebih - datang ke sekolah mengenakan abaya.
Baca juga: Prancis akan Larang Siswa Pakai Abaya Panjang di Sekolah Terkait Simbol Agama
Berdasarkan instruksi yang ditetapkan oleh kementerian, setiap kasus harus diselesaikan melalui dialog dengan staf sekolah.
Kebanyakan dari para siswi setuju untuk berganti pakaian dan dapat mulai belajar di kelas.
Namun, ada 67 anak perempuan yang menolak untuk mematuhi aturan dan akhirnya dipulangkan.
Dialog lebih lanjut dengan keluarga mereka kini akan dilakukan. Jika gagal mencapai kata sepakat, mereka akan dikeluarkan.
Pemerintah Prancis yakin aturan itu diterima secara luas oleh masyarakat Prancis.
Sebab, ada 12 juta anak sekolah yang mulai bersekolah pada hari Senin (4/9/2023), dan hanya ratusan yang mengenakan abaya.
Pada akhir bulan Agustus, menteri pendidikan mengumumkan siswa akan dilarang mengenakan jubah longgar yang dikenakan oleh beberapa wanita Muslim di sekolah-sekolah negeri Perancis pada awal tahun ajaran baru tanggal 4 September lalu.
Prancis melarang keras simbol-simbol keagamaan di sekolah-sekolah negeri dan gedung-gedung pemerintah, dengan alasan hal itu melanggar hukum sekuler.
BBC menambahkan mengenakan jilbab telah dilarang sejak 2004 di sekolah-sekolah negeri.
Langkah terbaru ini dilakukan setelah berbulan-bulan melalui perdebatan mengenai penggunaan abaya di sekolah-sekolah Prancis.
Pakaian tersebut makin banyak dikenakan di sekolah-sekolah, sehingga menyebabkan perpecahan politik di sekolah-sekolah tersebut.
Partai-partai sayap kanan mendorong pelarangan tersebut, sedangkan partai-partai sayap kiri menyuarakan keprihatinan terhadap hak-hak perempuan dan anak perempuan Muslim.
Sementara, pada 2010, Prancis melarang penggunaan cadar di depan umum.
Aturan itu sempat memicu kemarahan komunitas Muslim Prancis yang berjumlah lima juta orang.
Prancis telah memberlakukan larangan ketat terhadap tanda-tanda keagamaan di sekolah sejak abad ke-19.
Ini termasuk simbol-simbol Kristen seperti salib besar, dalam upaya untuk mencegah pengaruh Katolik terhadap pendidikan publik.
"Sekolah Republik dibangun berdasarkan nilai-nilai yang kuat, sekularisme adalah salah satunya. Saat Anda memasuki ruang kelas, Anda seharusnya tidak bisa mengidentifikasi agama muridnya," kata Gabriel Attal kepada wartawan TV Prancis, TF1, Minggu (27/8/2023).
“Saya umumkan bahwa (siswa) tidak boleh lagi memakai abaya di sekolah,” katanya.
Larangan pada abaya ini mengikuti laporan peningkatan jumlah anak perempuan yang mengenakan pakaian Islami di sekolah-sekolah Prancis.
Hal itu dianggap sebagai tren yang melanggar nilai sekuler di Prancis, menurut beberapa orang.
“Sekulerisme berarti kebebasan untuk membebaskan diri melalui sekolah,” kata Attal kepada TF1.
(Tribunnews.com/Deni, Yunita)