Rachel Corrie, Pelopor Solidaritas Global untuk Palestina, Mati dengan Tubuh Remuk Dibuldoser Israel
Bagi orang Palestina, pengorbanan Corrie luar biasa. Sebelumnya tak ada orang asing berkorban nyawa dengan kematian begitu kejam di negeri mereka.
Editor: Willem Jonata
TRIBUNNEWS.COM - Kini berjuta-juta orang di berbagai negara di dunia menunjukkan solidaritas mereka untuk rakyat Palestina.
Mereka mengutuk penjajahan dan pendudukan Israel atas nama tanah perjanjian, seiring perang berkecamuk di Gaza yang menewaskan lebih dari 13 ribu orang dan puluhan ribu luka-luka.
Bahkan tak sedikit menyerukan boikot segala produk yang dianggap mendukung Zionisme sebagai upaya menghentikan kegilaan Israel, yang mengakibatkan ribuan anak dan perempuan kehilangan nyawa.
Namun, 20 tahun lalu, jauh sebelum hiruk-pikuk gelombang unjuk rasa menentang penjajahan Israel, seorang gadis kelahiran Washington, Amerika Serikat, menunjukkan solidaritas untuk rakyat Palestina dengan nyawanya.
Namanya Rachel Corrie, usianya 23 tahun. Ia berusaha menghentikan buldoser militer Israel yang hendak menghancurkan rumah-rumah orang Palestina di Rafah, Jalur Gaza, pada 16 Maret 2003.
Corrie tak gentar berdiri menghadapi mesin ribuan ton yang mantap melaju hingga tubuhnya digilas dan membuat tulang-tulangnya remuk.
Kematiannya merupakan berita yang tidak biasa bagi media internasional, yang sering memberitakan kematian warga Palestina tanpa menyebutkan nama.
Demikian pula bagi orang Palestina, pengorbanan Corrie juga bukan hal biasa.
Menurut mereka, tak pernah ada sebelumnya orang asing mengorbankan nyawa dengan kematian yang begitu kejam di negeri mereka.
"Rachel Corrie pelopor solidaritas global terhadap rakyat Palestina. Kini kita melihat bagaimana solidaritas itu tumbuh dan membuahkan hasil,” kata Mohammad Hamayel, jurnalis Palestina di Ramallah kepada The New Arab.
Corrie hadir di tengah orang Palestina. Ia menyuarakan ketidakadilan di sana bukan hanya dengan kata-kata, tapi juga tindakan.
“Saya rasa dia juga menjadi standar bagi para aktivis di seluruh dunia dalam hal membela Palestina,” lanjut Hamayel.
Orang Palestina hingga kini mengenang Rachel Corrie sebagai simbol pengorbanan dan perlawanan.
"Rachel memberikan contoh jauh lebih tinggi dibandingkan sebagian orang Arab, yang banyak berbicara tentang Palestina, namun tidak pernah menunjukkan komitmen nyata," kata Haneen Hanna, orang Palestina yang tinggal di Betlehem.
Berawal tugas kuliah
Rachel Corrie datang ke Gaza sebagai bagian dari tugas kuliahnya untuk menghubungkan kota tempat tinggalnya dengan Rafah dalam sebuah proyek kota kembar.
Di sana ia dan rekan-rekannya terlibat kegiatan aktivisme menghentikan kekerasan sekaligus mencegah penghancuran rumah warga Palestina oleh tentara Israel.
Hanya beberapa pekan setelah kedatangannya di Palestina, tepatnya 16 Maret 2003, Corrie terbunuh ketika ia dan teman-temannya terlibat konfrontasi dengan dua buldoser Israel.
Saksi mata mengatakan bahwa buldozer sengaja melaju ke arah Corrie yang mengenakan jaket berwarna jingga terang.
Namun hal itu dibantah oleh pemerintah Israel yang mengatakan bahwa insiden itu adalah sebuah kecelakaan yang disebabkan karena operator buldozer tidak melihat keberadaan Corrie.
Pada tahun 2005 orang tua Corrie mengajukan gugatan perdata terhadap negara Israel.
Mereka menggugat Israel karena tidak melakukan penyelidikan penuh dan kredibel serta bertanggung jawab atas kasus kematian putri mereka.
Dalam gugatan itu, Israel dituntut membayar kompensasi simbolis sebesar 1 dolar Amerika Serikat dan membawa kasus tersebut sebagai langkah keadilan bagi Corrie dan perjuangan rakyat Palestina yang dibelanya.
Pada Agustus 2012 pengadilan Israel menolak gugatan orang tua Corie.
Israel tetap bertahan pada hasil penyelidikan tahun 2003 yang dilakukan oleh militer Israel yang memutuskan mereka tidak bertanggung jawab atas kematian Corrie.
Kehidupan dan perjuangan Rachel Corrie diabadikan dalam banyak penghormatan, diantaranya drama yang berjudul My Name Is Rachel Corrie dan sebuah paduan suara The Skies are Weeping.
Tulisan-tulisannya dibukukan pada 2008 berjudul Let Me Stand Alone.
Buku tersebut mengisahkan tentang "proses pendewasaan seorang wanita muda yang ingin membuat dunia sebagai tempat yang baik.
Sebuah lembaga sosial Rachel Corrie Foundation for Peace and Justice didirikan untuk melanjutkan perjuangannya.