Pembersihan Etnis, Tentara Israel Bunuh 10 Warga Palestina yang Ingin Kembali ke Gaza Utara
Israel tak ingin warga Palestina kembali ke rumah mereka di wilayah utara wilayah kantong yang dilanda perang itu sebagai bagian dari upaya genosida.
Penulis: Muhammad Barir
Politisi Israel telah melobi Mesir dan negara-negara Eropa untuk menerima warga Palestina dari Gaza sebagai pengungsi, dengan dalih menyelesaikan krisis kemanusiaan akibat kampanye pemboman yang dilakukan oleh Israel sendiri.
Baca juga: Serangan Tentara Israel di Gaza Tewaskan 22 Ribu Orang, 326 Petugas Kesehatan, 104 Ambulans Hancur
Pada tanggal 30 November, The Wall Street Journal melaporkan “Perang di Jalur Gaza menghasilkan kehancuran yang skalanya sebanding dengan peperangan perkotaan yang paling dahsyat dalam sejarah modern.”
“Pada pertengahan Desember, Israel telah menjatuhkan 29.000 bom, amunisi dan peluru di wilayah tersebut. Hampir 70 persen dari 439.000 rumah di Gaza dan sekitar setengah bangunannya telah rusak atau hancur".
"Pemboman tersebut telah merusak gereja-gereja Bizantium dan masjid-masjid kuno, pabrik dan gedung apartemen, pusat perbelanjaan dan hotel mewah, teater dan sekolah".
"Sebagian besar infrastruktur air, listrik, komunikasi dan kesehatan yang membuat Gaza berfungsi tidak dapat diperbaiki lagi. Sebagian besar dari 36 rumah sakit di wilayah tersebut ditutup, dan hanya delapan yang menerima pasien,” jelas surat kabar AS tersebut.
Kehancuran tersebut mirip dengan yang ditinggalkan oleh pemboman AS terhadap kota-kota Jerman pada Perang Dunia II.
Baca juga: Pemukim Israel Tolak Balik ke Rumah Mereka di Dekat Jalur Gaza Meski Diiming-imingi Uang Besar
“Kata ‘Gaza’ akan tercatat dalam sejarah bersama dengan Dresden dan kota-kota terkenal lainnya yang telah dibom,” kata Robert Pape, ilmuwan politik di Universitas Chicago dan penulis sejarah pemboman udara.
“Apa yang Anda lihat di Gaza adalah 25 persen dari kampanye hukuman paling intens dalam sejarah.”
Pemboman Israel di Gaza telah menewaskan lebih dari 21.000 orang, mayoritas perempuan dan anak-anak, sejak dimulainya perang pada 7 Oktober.
(Sumber: The Cradle)