AS Makin Ketar-ketir, IRGC dan Hizbullah Bantu Houthi di Laut Merah, Bakal Suplai Drone hingga Rudal
IRGC dan Hizbullah mengumumkan bakal membantu Houthi di Laut Merah. Mereka bakal menyuplai drone hingga rudal jarak menengah ke Yaman.
Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Wahyu Gilang Putranto
TRIBUNNEWS.COM - Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran dan Hizbullah mengumumkan bakal membantu Houthi di Laut Merah.
Dikutip dari Reuters, para komandan dari IRGC dan Hizbullah telah berada di Yaman untuk membantu dan mengawasi terkait serangan Houthi di Laut Merah.
Iran, yang telah mempersenjatai hingga mendanai Houthi, telah meningkatkan pasokan senjatanya ke milisi tersebut.
Berdasarkan sumber dari IRGC, Teheran telah menyediakan drone tak berawak, rudal jelajah anti-kapal, rudal balistik, dan rudal jarak menengah kepada Houthi.
Selain itu, para komandan dan penasihat IRGC juga membantu Houthi dengan memberikan pengetahuan, data, dan informasi intelijen untuk menentukan kapal mana dari seluruh kapal yang melintasi Laut Merah setiap hari yang ditujukan ke Israel, dan merupakan target Houthi.
“Garda Revolusi Islam telah membantu Houthi dengan pelatihan militer (untuk senjata canggih),” kata orang dalam organisasi tersebut kepada Reuters.
“Sejak bulan lalu, sekelompok pejuang Houthi berada di Iran dan dilatih di pangkalan IRGC di Iran tengah untuk membiasakan diri dengan teknologi baru dan penggunaan rudal,” sambungnya.
Sumber tersebut mengungkapkan bahwa para komandan IRGC juga telah melakukan perjalanan ke Yaman dan mendirikan pusat komando di ibu kota Sanaa untuk melakukan serangan ke Laut Merah yang dijalankan komandan senior IRGC.
Hal ini pun turut diamini oleh juru bicara Houthi, Abdulsalam dengan mengatakan pihaknya telah memperoleh bantuan dari IRGC lewat pelatihan militer.
Baca juga: AS Lancarkan Serangan Petang terhadap Houthi, Kerahkan Jet Tempur dan Hancurkan Rudal
Dia mengungkapkan pelatihan tersebut memberikan manfaat berarti terhadap Houthi untuk melakukan serangan di Laut Merah.
“Kami tidak menyangkal bahwa kami memiliki hubungan dengan Iran dan bahwa kami telah mendapat manfaat dari pengalaman Iran dalam pelatihan dan manufaktur, serta kemampuan militer.”
“Tetapi keputusan yang diambil oleh Yaman adalah keputusan independen yang tidak ada hubungannya dengan pihak lain,” katanya kepada Reuters.
AS Nyaris Sendirian di Laut Merah
Di sisi lain, kolumnis dari Financial Times, Alan Beattie, menilai Amerika Serikat (AS) kini dianggapnya tidak bisa melindungi rute pelayaran di Laut Merah.
Beattie menganggap AS kini dihadapkan pada tantangan yang benar-benar unik di Laut Merah.
“AS kini menghadapi Angkatan bersenjata Yaman, sebuah kekuatan yang patut diperhitungkan di mana kebetulan memiliki rudal balistik dan drone yang canggih serta memiliki tujuan yang jauh berbeda dari negara-negara lain yang berupaya menghalangi perdagangan global,” ujarnya.
Beattie pun menilai serangan Houthi di Laut Merah sebenarnya semata-mata hanya mengincar kapal berbendera Israel saja.
Namun, alih-alih AS menekan Israel agar mengizinkan bantuan masuk ke Gaza, negeri Paman Sam justru meladeni serangan yang dilancarkan oleh Houthi dan Yaman.
“Namun, bahkan ketika AS menghabiskan 0,21 persen dari Produk Domestik Brutonya untuk patroli jalur pelayaran, yang bermanfaat bagi tujuannya di tempat-tempat seperti lepas pantai Somalia, AS tidak akan mampu memberikan dampak besar terhadap Yaman,” tulis ulasan Beattie.
Di sisi lain, jumlah sekutu AS yang siap berperang di Laut Merah, dinilai Beattie, saat ini nyaris tidak ada.
“Meskipun beberapa negara terlibat dalam agresi di Yaman, yaitu Australia, Kanada, dan Belanda, serta Bahrain, keterlibatan mereka tidak bersifat operasional,” kata Beattie.
Dia pun mencontohkan Mesir yang meski memiliki kepentingan lebih ketimbang AS di Laut Merah, tetapi mereka tidak berani mengambil tindakan seperti AS dengan menyerang Houthi atau Yaman.
Beattie menilai tindakan Mesir itu lantaran enggan untuk disamakan sebagai pro-Israel ketika melakukan serangan terhadap Houthi.
“Ketika AS berupaya untuk menjaga jalur perdagangan tetap terbuka saat ini, pandangan mereka mungkin akan berubah besok dan begitu pula kepentingan mereka dengan kemungkinan kembalinya mantan Presiden Donald Trump ke tampuk kekuasaan lewat kebijakan proteksionisme isolasionisnya yang bahkan mungkin akan menyebabkan penarikan dukungan terhadap perdagangan sekutu utama seperti Ukraina dan Taiwan,” ujar Beattie.
Baca juga: Pemerintah Yaman Tak Sanggup Hadapi Houthi, Minta Bantuan Barat Gelar Operasi Darat
Dia melanjutkan, saat ini, AS lebih diandalkan untuk membuka blokade Laut Merah oleh banyak sekutunya yang bahkan tidak mau ikut serta jika perang terjadi.
“Dan bahkan jika AS melakukan hal tersebut (perang melawan Houthi), mereka (sekutu AS) bakal menanggung risiko jika Trump kembali ke tampuk kekuasaan,” katanya.
(Tribunnnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)