Qatar Khawatir Janji AS untuk Balas Serangan di Yordania Ganggu Kesepakatan Gencatan Senjata di Gaza
Qatar merasa khawatir dengan janji AS untuk membalas serangan drone di Yordania akan mengganggu kesepakatan baru soal gencatan senjata di Gaza.
Penulis: Whiesa Daniswara
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Amerika Serikat (AS) bersumpah akan membalas serangan drone yang menewaskan tiga pasukannya di Yordania, Minggu (28/1/2024).
Serangan yang dilakukan oleh militan yang didukung Iran adalah serangan mematikan pertama terhadap pasukan AS sejak perang Israel-Hamas meletus pada bulan Oktober 2023 lalu.
Juru bicara Keamanan Nasional Gedung Putih, John Kirby mengatakan pada hari Senin bahwa AS tidak menginginkan perang yang lebih luas dengan Iran atau di wilayah tersebut.
Namun, kata Kirby, AS harus melakukan apa yang harus dilakukan ketika pasukannya diserang.
Presiden AS Joe Biden sebelumnya telah memerintahkan serangan balasan terhadap kelompok-kelompok yang didukung Iran, tetapi sejauh ini tidak menyerang Iran secara langsung.
"Jangan ragu – kami akan meminta pertanggungjawaban semua pihak pada waktu dan cara yang kami pilih," kata Biden, dikutip dari Reuters.
Pemerintahan Biden berada di bawah tekanan untuk menanggapi serangan pesawat tak berawak itu dengan tegas tanpa memicu perang yang lebih luas.
Mereka juga berusaha memfasilitasi pembebasan lebih dari 100 sandera oleh Hamas.
Perdana Menteri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim al Thani mengatakan bahwa dia berharap pembalasan AS tidak akan melemahkan kemajuan menuju kesepakatan pembebasan sandera baru.
Ia mengatakan, potensi pembalasan AS terhadap serangan di Yordania akan berdampak pada keamanan regional.
Direktur CIA William Burns bertemu Sheikh Mohammed, serta kepala dinas intelijen Mossad Israel dan kepala intelijen Mesir, pada hari Minggu di Paris untuk melakukan pembicaraan yang dianggap konstruktif oleh Israel, Qatar dan AS.
Baca juga: Qatar Ungkap Negosiasi Gencatan Senjata Israel-Hamas Berjalan Baik
Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken mengatakan pembicaraan Paris menimbulkan harapan bahwa proses negosiasi yang dimediasi Qatar dapat dilanjutkan.
Sebelum gagal, mekanisme tersebut menghasilkan perjanjian gencatan senjata selama seminggu pada bulan November ketika Hamas membebaskan sekitar 100 sandera.
"Kerangka kerja yang dikembangkan di Paris adalah kerangka yang kuat dan menarik."