Ketiga Kalinya, AS Lagi-lagi Veto Resolusi DK PBB soal Gencatan Senjata di Gaza
Amerika Serikat kembali memveto rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB mengenai perang Israel di Gaza pada Selasa (20/2/2024).
Penulis: Farrah Putri Affifah
Editor: Sri Juliati
Sementara Duta Bear Inggris untuk PBB Barbara Woodward mengatakan kepada dewan bahwa resolusi ini bukanlah sebuah solusi untuk menghentikan perang.
“Hanya menyerukan gencatan senjata seperti halnya resolusi ini tidak akan mewujudkannya,” katanya.
Menurutnya, cara yang tepat untuk menghentikan perang adalah mengeluarkan sandera dan memberikan bantuan kepada warga sipil.
“Cara untuk menghentikan pertempuran, dan berpotensi menghentikan konflik kembali terjadi, adalah memulai dengan jeda untuk mengeluarkan sandera dan memberikan bantuan," jelasnya.
Gencatan Senjata Sementara
Amerika Serikat telah mengusulkan rancangan resolusi gencatan sementara dan menentang serangan darat besar-besaran oleh Israel ke Rafah pada Senin (19/2/2024).
Dalam resolusi tersebut, AS memberikan waktu untuk negosiasi dan tidak akan terburu-buru melakukan pemungutan suara.
Tidak seperti biasanya, AS membuat semuanya terkejut dengan membuat resolusi sendiri.
“Jadi orang-orang agak terkejut bahwa AS membuat rancangan undang-undangnya sendiri," kata James Bays dari Al Jazeera, melaporkan dari markas besar PBB di New York.
Namun hingga saat ini, rancangan undang-undang AS belum dibuat secara resmi dan belum disampaikan kepada anggota Dewan.
Sehingga belum tahu rancangan tersebut akan diajukan ke DK PBB.
Akan tetapi, berbeda dari resolusi sebelumnya, AS untuk pertama kalinya menggunakan kata 'gencatan senjata'.
"Ada pelemahan bahasa AS dan untuk pertama kalinya AS menggunakan kata 'gencatan senjata', (sebelumnya) kontroversial bagi AS," katanya.
Hingga saat ini, Washington menolak kata gencatan senjata dalam setiap tindakan PBB terkait perang Israel di Gaza.
Namun dengan rancangan resolusi yang dibuat oleh AS mencerminkan bahasa yang digunakan Presiden AS Joe Biden pekan lalu dalam percakapannya dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.