Diklaim demi Cegah Penjarahan, Kabinet Israel Setujui Pemberian Bantuan Kemanusiaan ke Gaza Selatan
Tentara Israel disebut berencana untuk memberikan bantuan kemanusiaan di Jalur Gaza.
Penulis: Nuryanti
Editor: Suci BangunDS
TRIBUNNEWS.COM - Kabinet perang Israel telah menyetujui rencana tentara Israel untuk memberikan bantuan kemanusiaan di Jalur Gaza.
Menurut pernyataan dari Kantor Perdana Menteri Israel (PMO), rencana tersebut dilaporkan dirancang untuk mencegah penjarahan yang terjadi di Jalur utara dan wilayah lainnya.
"Kabinet menyetujui pemberian bantuan kemanusiaan ke Gaza selatan dengan cara yang akan mencegah penjarahan," kata PMO, Senin (26/2/2024), dikutip dari The Times of Israel.
Sementara itu, organisasi kemanusiaan PBB, OCHA, mengatakan masyarakat di Rafah sangat putus asa, sehingga mereka langsung memakan makanan setelah mengambilnya dari truk.
Dilansir Al Jazeera, Rafah telah menjadi satu-satunya pintu masuk bagi truk bantuan ke Jalur Gaza.
Namun, UNRWA mengatakan rata-rata kurang dari 35 truk memasuki wilayah kantong yang terkepung per hari pada pekan lalu.
Konvoi bantuan berjuang untuk bergerak melalui Rafah untuk mencapai daerah lain.
Hal itu setelah pasukan Israel menargetkan dan membunuh polisi Palestina yang mencoba membantu konvoi bantuan menavigasi kerumunan orang yang kelaparan dan putus asa.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengatakan operasi militer Israel di Rafah bisa agak tertunda jika kesepakatan untuk gencatan senjata selama berminggu-minggu antara Israel dan Hamas tercapai.
Sebab, para mediator berupaya untuk mendapatkan garis besar jeda dalam pertempuran dan pembebasan sandera.
Israel terus melanjutkan rencana serangan militer di Rafah, benteng terakhir Hamas di Gaza dan tempat lebih dari separuh penduduk wilayah tersebut yang berjumlah 2,3 juta jiwa mencari perlindungan.
Baca juga: Tentara Israel Tembaki Kerumunan Warga Palestina yang Tunggu Truk Bantuan, 10 Orang Tewas
Kelompok-kelompok kemanusiaan telah memperingatkan akan terjadinya bencana besar.
Pasalnya, Rafah merupakan pintu masuk utama bantuan, dan Amerika Serikat (AS) serta sekutu lainnya mengatakan Israel harus menghindari tindakan yang merugikan warga sipil.
Di bawah tekanan AS, para pemimpin politik dan militer Israel mengatakan operasi tersebut tidak akan dimulai sampai keselamatan warga non-kombatan terjamin.