Inflasi Turki 67 Persen, Argentina 250 Persen, Warga Rela Pungut Makanan dari Tong Sampah
Tingkat inflasi terus melonjak ditandai dengan kenaikan harga makanan, barang dan jasa.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah negara di dunia kini diambang krisis ekonomi.
Pasalnya tingkat inflasi terus melonjak ditandai dengan kenaikan harga makanan, barang dan jasa.
Warga kelaparan karena tak mampu membeli makanan yang harganya semakin naik hingga tiga kali lipat.
Inflasi di Turki (Turkiye)
Laju inflasi tahunan Turkiye naik menjadi 67,07 persen pada Februari 2024.
Hal ini melebihi ekspektasi dan menjaga tekanan untuk kebijakan moneter ketat di tengah kenaikan harga pangan, hotel dan pendidikan.
Menteri Keuangan Turki Mehmet Simsek mengatakan inflasi akan tetap tinggi dalam beberapa bulan mendatang karena efek dasar dan dampak tertundanya kenaikan suku bunga.
Inflasi sebesar 67,07 persen, level tertinggi dalam kurun waktu 15 bulan terakhir.
Baca juga: Serikat Buruh Soroti Inflasi Pangan Sudah di Atas Kenaikan Gaji Pekerja
Angka inflasi itu lebih tinggi dari perkiraan pasar. Sebelumnya, hasil jajak pendapat pasar yang dihimpun oleh Reuters, inflasi Turki diproyeksi sebesar 65,7 persen.
Pemicu utama inflasi tinggi itu ialah kelompok hotel, kafe, dan restoran yang mencatatkan inflasi 94,78 persen secara tahunan.
Kemudian, sektor edukasi juga mencatatkan inflasi signifikan, yakni 91,84 persen.
Lalu di sektor kesehatan terjadi inflasi sebesar 81,25 persen. Sementara sektor transportasi mencatatkan inflasi 77,98 persen.
Adapun indeks harga sektor pangan dan minuman non alkohol melesat 71,12 persen secara tahunan. Jika dilihat secara bulanan, indeks harga pangan di Turki melesat 8,25 persen.
"Kenaikan inflasi Turkiye yang lebih kuat dari perkiraan menjadi 67,1 persen secara tahunan di bulan Februari menambah kekhawatiran kami, mengingat hal ini terjadi karena peningkatan besar dalam inflasi di bulan Januari dan kuatnya pertumbuhan belanja rumah tangga di kuartal IV (2023)," ujar Ekonom Senior Negara Berkembang Capital Economics, Liam Peach, dikutip dari CNBC, Selasa (5/3/2024).