Myanmar: Perlawanan Terhadap Junta Militer Masuki Babak Baru
Digempur pemberontak, rezim militer Myanmar setengah mati bertahan, namun masih berusaha keras meningkatkan kekuatan dan melancarkan…
Militer Myanmar kehabisan tenaga dan menghadapi banyak kekalahan di seluruh negeri, tandas para analis kepada DW, setelah sebuah kota penting di dekat perbatasan Thailand jatuh ke tangan pasukan prodemokrasi.
Kota Myawaddy direbut oleh Tentara Pembebasan Nasional Karen, sayap bersenjata dari Persatuan Nasional Karen KNU, yang merupakan bagian dari aliansi besar antijunta militer Myanmar.
Jatuhnya Myawaddy ke tangan pemberontak dianggap sebagai simbol kekalahan dan runtuhnya ekonomi junta militer. Dalam pertempuran tersebut KNU dan sekutunya memaksa lebih dari 600 tentara pemerintah dan anggota keluarga mereka menyerah.
Myawaddy sangatlah penting dalam perdagangan antara Thailand dan Myanmar. Barang bernilai miliaran dolar AS melintasi perbatasan ini setiap tahunnya.
Pemberontak juga mendesak pasukan yang dikendalikan oleh pemerintahan militer Dewan Administrasi Negara SAC di wilayah-wilayah lain Myanmar.
"Di lapangan, SAC mengalami kemunduran di beberapa lokasi, di Kachin, Arakan, dan Karenni dan Shan,” ujar analis independen Myanmar David Scott Mathieson kepada DW.
Pemberontak melancarkan 'Operasi 1027'
Aksi protes terhadap kudeta militer pada Februari 2021 meningkat menjadi pemberontakan bersenjata dan kemudian menjadi perang saudara besar-besaran, ketika berbagai kelompok politik dan etnis di Myanmar bersatu dalam perlawanan bersenjata melawan junta militer.
Pada bulan Oktober 2023, aliansi kekuatan oposisi melancarkan serangan besar-besaran di Negara Bagian Shan di utara Myanmar. Dijuluki "Operasi 1027", sesuai dengan tanggal peluncurannya, serangan balik tersebut berhasil merebut puluhan kota kecil dan ratusan pos yang dikuasai junta. Serangan tersebut telah memberikan momentum kepada kelompok oposisi lainnya, dan pertempuran meningkat ke tingkat nasional.
Militer 'tidak dapat memecah belah dan menaklukkan'
Zachary Abuza, seorang profesor di National War College di Washington yang fokus pada politik dan keamanan Asia Tenggara, mengatakan berbagai pertempuran tersebut melemahkan junta militer.
"Pasukan oposisi bertempur di delapan zona pertempuran berbeda di seluruh negeri. Bukan berarti ada satu kelompok yang kuat atau canggih, tapi kekuatan militer tersebar tipis, tidak mampu memecah belah dan menaklukkan,” kata Abuza kepada DW.
"Hal ini memungkinkan Tentara Kemerdekaan Kachin KIA, AA, KNU, dan kelompok etnis lainnya memperoleh keuntungan teritorial yang signifikan. Kekuatan militer telah terkuras secara signifikan dan terdapat gangguan signifikan dalam hal logistik, sehingga sangat sulit mempercepat penempatan dan penambahan pasukan,” katanya.
"Militer belum mampu merebut kembali sejumlah besar wilayah yang telah lepas dari genggaman mereka sejak Operasi 1027 dimulai, meskipun mereka memfokuskan upaya mereka di jantung wilayah Bamar, yaitu Sagaing dan Magwe. Itu tetap menjadi prioritas mereka, wilayah etnis berada di urutan kedua,” tambah Abuza.
Perang mencapai Naypyidaw
Di Rakhine, Tentara Arakan AA, yang merupakan sayap bersenjata dari Liga Persatuan kelompok etnis Arakan, memperoleh keuntungan setelah perjanjian gencatan senjata sebelumnya berakhir pada bulan November. AA telah merebut setidaknya enam kota kecil di negara bagian tersebut dan terus berjuang untuk menguasai lebih banyak wilayah.
Bahkan sebelum jatuhnya Myawaddy, pemberontak telah menguasai lebih dari 60 persen wilayah negara itu, demikian menurut Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar NUG, organisasi yang mengklaim dirinya sebagai pemerintahan sah Myanmar.