Rincian Senjata Bom AS yang Batal Dikirim ke Israel: Termasuk 1.800 Bom Seberat 900 Kg
Amerika Serikat batal atau menghentikan pengiriman senjata ke Israel, berikut ini rincian senjata yang batal dikirim, termasuk bom.
Penulis: garudea prabawati
Editor: Nanda Lusiana Saputri
TRIBUNNEWS.COM - Berikut ini rincian senjata berupa bom buatan Amerika Serikat (AS) yang batal dikirim ke Israel.
Diketahui Pemerintah AS menghentikan pengiriman pasokan amunisi buatan mereka yang ditujukan ke Israel.
Seperti dilansir Axios dan Al Arabiya, Senin (6/5/2024), penangguhan pasokan amunisi dari AS untuk Israel itu dilaporkan oleh outlet media AS, Axios, yang mengutip sejumlah pejabat Israel yang enggan disebut namanya.
Dalam berita tersebut disebutkan keputusan Washington menangguhkan pengiriman senjata membuat para pejabat Tel Aviv khawatir.
Dilaporkan juga AS menghentikan pengiriman senjata dalam jumlah besar ke Israel karena kekhawatiran akan potensi penggunaannya di Rafah, kata seorang pejabat kepada media AS, Selasa (7/5/2024).
Pejabat tersebut, yang tidak ingin disebutkan namanya, mengatakan pengiriman tersebut termasuk:
Mengutip Anadolu Agency, pejabat AS itu menekankan kekhawatiran tentang penggunaan bom yang lebih besar di wilayah padat penduduk di Gaza.
Sementara itu, soal AS yang hentikan pengiriman senjata ke Israel, dilaporkan bahwa langkah ini telah menimbulkan kekhawatiran yang signifikan di dalam pemerintahan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu.
Sehingga mendorong para pejabat Israel untuk mencari kejelasan mengapa pengiriman tersebut tertunda.
Baca juga: Relawan Gaza Temukan 7 Kuburan Massal Ratusan Warga Palestina di 3 RS yang Dihancurkan Israel
Sebelumnya, penanganan perang yang dilakukan Presiden AS Joe Biden telah menuai kritik dari warga AS.
Warga AS menentang sikap Biden yang dianggap memberikan dukungan butanya terhadap Israel, mengutip Palestine Chronicle.
Pada bulan Februari 2024, pemerintah Biden meminta jaminan dari Israel bahwa senjata buatan AS digunakan oleh tentara Israel di Gaza sesuai dengan hukum internasional.
Israel dilaporkan memberikan jaminan ini dalam surat yang ditandatangani pada bulan Maret.
Namun terkait kejadian baru-baru ini, pejabat Israel mengungkapkan bahwa pengiriman amunisi ke Israel dihentikan pada pekan lalu.
Di sisi lain, Gedung Putih menolak berkomentar, dan tanggapan dari Pentagon, Departemen Luar Negeri, dan Kantor Perdana Menteri Israel belum tersedia, Axios melaporkan.
Isu Retaknya Hubungan Biden dan Netanyahu
Dilaporkan juga kekhawatiran pemerintahan Biden berkisar pada potensi Israel untuk menyerang kota Rafah di Gaza selatan, tempat lebih dari satu juta pengungsi Palestina mencari perlindungan.
“Netanyahu mengisyaratkan ketegangan dengan pemerintahan Biden dalam sebuah pernyataan pada Hari Peringatan Holocaust yang dikeluarkan pada hari Minggu,” kata Axios.
Pernyataan Netanyahu pada Hari Peringatan Holocaust tampaknya menunjukkan adanya gesekan, menekankan perlunya pertahanan diri dan menyiratkan kesiapan untuk bertindak independen jika diperlukan.
“Dalam Holocaust yang mengerikan, ada pemimpin-pemimpin besar dunia yang berdiam diri; oleh karena itu, pelajaran pertama dari Holocaust adalah: Jika kita tidak membela diri kita sendiri, tidak ada yang akan membela kita. Dan jika kami perlu berdiri sendiri, kami akan berdiri sendiri,” ujar Netanyahu.
Axios juga melaporkan tentang percakapan 'sulit' antara Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dan Netanyahu selama kunjungan ke Israel Rabu lalu.
Blinken dilaporkan memperingatkan Netanyahu agar tidak melakukan operasi militer besar-besaran di Rafah, dengan menyatakan bahwa hal itu akan menimbulkan penolakan publik dari AS dan memperburuk hubungan AS-Israel.
Sehari kemudian, juru bicara Gedung Putih John Kirby memperkuat pesan ini dengan menunjukkan bahwa Presiden Biden serius mengenai potensi perubahan kebijakan AS mengenai perang Gaza jika Israel melanjutkan operasi darat di Rafah tanpa mempertimbangkan penderitaan para pengungsi.
Namun, Netanyahu telah menegaskan bahwa dia tidak bersedia mengakhiri perang sebagai bagian dari kesepakatan pertukaran tawanan dan menegaskan bahwa invasi ke Rafah akan terjadi dalam waktu dekat.
(Tribunnews.com/Garudea Prabawati)