Takut Dimusuhi Mesir, Israel Buka Penyeberangan Rafah di Gaza Selatan
Pejabat senior Israel mengizinkan pemerintah Palestina untuk membuka dan mengoperasikan penyeberangan Rafah di Gaza Selatan.
Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, TEL AVIV – Pejabat senior Israel mengizinkan pemerintah Palestina untuk membuka dan mengoperasikan penyeberangan Rafah di Gaza Selatan.
Laporan tersebut mencuat usai media Axios membocorkan isi laporan empat sumber pejabat senior Israel, Amerika Serikat, dan Otoritas Palestina yang menyebut bahwa Israel secara diam-diam meminta Otoritas Palestina mengoperasikan penyeberangan Rafah.
Dalam laporan tersebut para sumber mengatakan Israel telah mengajukan permintaan itu ke otoritas Palestina karena Mesir mengancam akan bergabung dengan Afrika Selatan untuk menggugat Israel di Mahkamah Internasional (ICJ) dalam kasus genosida di Gaza.
Mesir juga menuntut agar Israel melepaskan pendapatan pajak Palestina, yang telah ditahan selama beberapa bulan oleh Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, sebagai pembalasan atas penangkapan pejabat senior Israel atas kejahatan perang.
Serta menggertak akan menghentikan pengiriman bantuan melalui penyeberangan Kerem Shalom dan berjanji terus menunda bantuan sampai pasukan Israel menarik diri dari Rafah.
Bahkan baru-baru ini Laporan outlet Ibrani, I24 menyebut, pejabat militer Mesir secara tiba-tiba membatalkan rencana perundingan dengan rekan-rekan Israel.
Hal ini sontak memicu kekhawatiran otoritas Israel lantaran tindakan tersebut bisa membuat hubungan Mesir dan Israel saat ini dalam status ‘berisiko tinggi’ akibat keputusan Tel Aviv memperluas invasi dan serangan ke Rafah yang menampung jutaan pengungsi.
Baca juga: Barclays Tambah Investasi di Perusahaan Senjata Israel 2,4 Miliar USD di Tengah Invasi IDF ke Rafah
Khawatir masalah ini akan semakin membuat hubungan diplomatik Kairo dan Tel Aviv merenggang, menteri Keamanan Israel Yoav Gallant menegaskan bahwa negaranya terbuka terhadap banyak solusi untuk penyeberangan Rafah kecuali kembalinya Hamas.
Penduduk Palestina di Rafah Hadapi Kondisi Sangat Sulit
Sebanyak 300.000 pengungsi dilaporkan telah meninggalkan Rafah dalam beberapa hari terakhir, Para pengungsi meninggalkan distrik itu dengan kondisi mengenaskan, kelaparan, kehausan, dan kebingungan.
Mereka tidak tahu harus berlindung ke mana, lantaran Rafah menjadi satu-satunya rumah teraman bagi 1,2 juta pengungsi Palestina.
Baca juga: Israel Siapkan Siasat Keji di Rafah, Tutup Akses ke Kantong Pengungsi yang Makin Terkepung
Meski puluhan ribu pengungsi telah berhasil meninggalkan kota tersebut namun masih ada banyak warga yang terjebak di daerah-daerah yang tidak dapat dievakuasi karena intensitas pengeboman dan kekuatan militer Israel yang ekstrem.
Imbas penutupan perbatasan yang dilakukan Israel, rang-orang di sana dilanda kelaparan hal ini diperparah dengan runtuhnya sistem transportasi dan layanan kesehatan.
"Ada anak-anak dan orang tua yang sangat kelaparan sehingga mereka hampir tidak bisa berjalan. Orang-orang ini tidak bisa begitu saja pindah ke daerah lain, ke tempat yang mereka sebut 'zona aman'. Itu tidak mungkin," kata Alexandra Saieh, kepala kebijakan kemanusiaan dari Save the Children.
Senada dengan Alexandra Saieh , Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), António Guterres melaporkan kondisi wilayah Gaza kian memprihatinkan hingga 2,3 juta penduduknya menghadapi krisis kemanusiaan.
Termasuk anak-anak di Gaza yang kini mengalami stunting dan malnutrisi akut, akibat stok bahan pangan tak bisa masuk ke wilayah pengungsian.
Sejumlah pihak menilai Israel sengaja menghancurkan sistem pangan Gaza sebagai bagian dari kampanye kelaparan yang lebih luas dalam perang melawan Hamas.
Otoritas Israel membantah telah membatasi kemanusiaan bagi warga sipil di Gaza, dan menyalahkan lambatnya pengiriman bantuan karena ketidakmampuan atau ketidakefisienan di antara badan-badan PBB.