Ali Bagheri Kani Ditunjuk sebagai Menteri Luar Negeri Sementara Iran
Politikus berusia 57 tahun, Ali Bagheri Kani ditunjuk sebagai Menteri Luar Negeri sementara Iran, setelah Hossein Amir-Abdollahian dipastikan tewas.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Politikus berusia 57 tahun, Ali Bagheri Kani ditunjuk sebagai Menteri Luar Negeri sementara Iran, setelah Hossein Amir-Abdollahian dipastikan tewas bersama rombongannya dalam kecelakaan helikopter pada Minggu (19/5/2024).
Bagheri Kani dinilai sebagai pilihan logis untuk menjabat sebagai penjabat menteri luar negeri, mengingat dia pernah menjadi wakil Amirabdollahian untuk urusan politik.
Pengganti Amirabdollahia lahir di sebuah desa di utara ibu kota Teheran dari keluarga konservatif.
Terbilang, anggota keluarga mempunyai peran penting di negara ini.
Ayahnya, ulama terkemuka Mohammad-Bagher Bagheri Kani yang kini berusia 98 tahun.
Mohammad-Bagher adalah mantan anggota parlemen dan Majelis Ahli, badan ulama yang bertugas menunjuk pengganti Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei.
Dan pamannya, Mohammad Reza Mahdavi Kani, adalah mantan penjabat perdana menteri dan menteri dalam negeri.
Mohammad Reza merupakan sosok yang memimpin Majelis Ahli dari tahun 2010 hingga kematiannya pada tahun 2014.
Saudara laki-laki Ali Bagheri Kani, Mesbah al-Hoda Bagheri Kani, adalah seorang putra menantu Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei.
Bagheri Kani belajar ekonomi di Universitas Imam Sadiq Teheran, sebuah sekolah yang telah menghasilkan banyak anggota pemerintah Iran, dan dulunya dijalankan oleh ayahnya.
Ia memulai karir diplomatiknya di bagian regional Kementerian Luar Negeri Iran.
Baca juga: Hossein Amir-Abdollahian
Bagheri Kani juga sempat menjabat sebagai analis politik di televisi pemerintah.
Dia telah lama menjadi rekan dekat Saeed Jalili, seorang tokoh ultrakonservatif penting dalam kelompok tersebut yang kini memegang posisi senior di Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran (SNSC).
Seperti Jalili, nama Bagheri Kani sebagian besar dikaitkan dengan perundingan selama bertahun-tahun seputar program nuklir Iran.
Ia menjabat sebagai wakil Jalili di SNSC tak lama setelah Jalili ditunjuk sebagai sekretaris badan tersebut pada tahun 2007, pada saat ketegangan meningkat terkait isu tersebut. isu nuklir.
Karena SNSC pada saat itu bertugas menangani masalah nuklir, Bagheri Kani juga menjadi tokoh senior dalam tim perundingan negara tersebut dan mengadakan pertemuan dengan para pejabat AS dan Eropa.
Negosiasi tersebut akhirnya gagal, dan Iran dikenai serangkaian sanksi internasional yang keras.
Jalili akhirnya mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2013, dengan keinginan untuk mengemukakan pandangan pesimistisnya terhadap perjanjian nuklir dengan Barat.
Bagheri Kani mengelola kampanye pemilihannya, namun gagal.
Kemenangan Hassan Rouhani yang berhaluan tengah pada tahun itu, yang menjanjikan pencabutan sanksi dan mengakhiri isolasi Iran, membuat Jalili dan Bagheri Kani relatif dikesampingkan.
Pemerintahan Rouhani berhasil menyepakati perjanjian nuklir, yang dikenal secara resmi sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) dengan negara-negara Barat pada tahun 2015.
Namun perjanjian tersebut tidak bertahan lama, karena Presiden AS Donald Trump menarik diri dari perjanjian tersebut secara sepihak pada tahun 2018.
Baca juga: Dikhianati AS dan Sekutunya, Vladimir Putin Keluar dari Perjanjian Nuklir New START
Trump lantas memberlakukan sanksi terhadap perjanjian tersebut. sanksi yang lebih keras terhadap Iran.
Amirabdollahian, mendiang menteri luar negeri, aktif mewakili kepentingan dan aliansi Iran di seluruh kawasan selama perang, melakukan tur untuk bertemu dengan pejabat tinggi di Suriah, Lebanon, Qatar, dan tempat lain.
Bagheri Kani diperkirakan akan meneruskan obor tersebut, menekankan seruan Teheran untuk melakukan gencatan senjata di Gaza dan menentang kehadiran dan pengaruh Barat di wilayah tersebut, sambil mendukung sekutunya sendiri.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)