Pemuda Israel Tolak Perintah Wajib Militer, Rela Dipenjara Ketimbang Terlibat Genosida di Gaza
Puluhan pemuda di Israel kompak menolak perintah Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu untuk melaksanakan wajib militer
Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, TEL AVIV – Puluhan pemuda di Israel kompak menolak perintah Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu untuk melaksanakan wajib militer bersama Pasukan Pertahanan Israel (IDF) di jalur Gaza.
Penolakan ini sebagian besar dilakukan oleh anggota Grup Yesh Gvul, sayap kiri Israel sebagai bentuk protes atas kebijakan pemerintah terhadap warga Palestina. Di laman media sosial X mereka berbondong-bondong menolak perintah wajib militer di tengah kondisi perang Israel-Palestina yang semakin memanas.
“Saya siap untuk terus menanggung akibatnya dan masuk penjara jika hal itu mencegah terjadinya dehumanisasi secara diam-diam. Mereka (warga Palestina) adalah manusia!,” kata Sophia Or, salah satu pemuda Israel yang pernah menjalani hukuman penjara karena menolak wajib militer.
Baca juga: Presiden Turki Erdoğan Sebut Netanyahu Vampir Haus Darah Buntut Pembantaian di Rafah
Sejak perang antara Hamas dan Israel berkecamuk, pemerintahan Netanyahu mewajibkan para remaja di Israel baik laki-laki maupun perempuan untuk mengikuti wamil saat menginjak usia 18 tahun.
Bagi laki-laki, wamil berlangsung selama 32 bulan. Sementara bagi perempuan, wamil berjalan selama 24 bulan. Wajib militer ini digelar untuk memperkuat benteng pertahanan pasukan tempur sebelum nantinya dikirim ke medan perang Gaza.
Dengan begini Israel dapat mengantisipasi adanya ancaman krisis pasukan akibat perang. Namun program ini tak berjalan lancar, sebagian besar pemuda di Yahudi di Israel menolak untuk bertugas di militer meski diancam penjara selama 200 hari lamanya.
Sebagian dari mereka menolak perintah ini dengan alasan menentang ideologi Netanyahu atas pendudukan tanah Palestina dan pengeboman warga sipil di Gaza yang telah menimbulkan genosida massal hingga lebih dari 36.170 nyawa melayang. Selain itu mereka juga mengaku lelah menghadapi pertempuran tak tak kunjung selesai.
“Mereka diperintahkan untuk mempersiapkan serangan darat ke Rafah, tetapi menolak karena prajurit merasa tidak mampu melanjutkan pertempuran di Gaza setelah hampir 7 bulan bertempur,kelelahan menjadi alasan utama penolakan ini,” jelas laporan stasiun berita lokal, Channel 12.
Belum ada komentar dari pemerintah Tel Aviv mengenai aksi pembelotan yang dilakukan pemuda-pemudi Israel, namun menurut laporan situs berita Israel Zman Yisrael yang dikutip Anadolu sejak beberapa bulan terakhir terjadi peningkatan signifikan dalam jumlah warga sayap kiri Israel yang menolak wajib militer.
Baca juga: Prajurit Batalyon Nahal Israel Tewas Kena Peledak Ra’adiya di Rafah, Tentara Penyelamat Ditembak
Kelompok Yesh Gvul mencatat sekitar 100 pemuda telah menolak dinas militer. Pada akhir April, sekitar 30 tentara cadangan dari Brigade Pasukan Terjun Payung yang dipanggil untuk bertugas di Rafah, mengumumkan penolakan untuk bertugas.
Di awal April kemarin, 100 tentara perempuan Israel dilaporkan menolak perintah Perdana Menteri Benyamin Netanyahu untuk melakukan wajib militer dan pelatihan bersama pasukan pertahanan Israel (IOF) .
Israel Krisis Pasukan
Imbas banyaknya pasukan yang menolak untuk terjun ke medan perang, kini Israel diisukan mengalami krisis pasukan, lantaran 582 tentara IDF gugur dalam medan pertempuran sementara 30.000 pasukan lainnya dinyatakan gangguan mental akibat perang.
Pasukan Pertahanan Israel (IDF) yang mengalami krisis mengungkap sangat membutuhkan 7.000 tentara tambahan. Tak hanya ribuan pasukan, IDF juga meminta tambahan 7.500 posisi untuk perwira dan bintara.
Jumlah tersebut melonjak dari target yang telah dijadwalkan, menandakan IDF mengalami krisis di Gaza selama hampir 150 hari perang.
Kami benar-benar membutuhkan kekuatan militer yang besar, bahkan kompensasi uang saya tidak akan cukup,” tegas seorang perwira tinggi di Staf Umum IDF.