Kisah Ita Muswita, Relawan Medis Indonesia di Gaza Palestina: Kami Menyebutnya Jihad Profesi
Sejak minggu pertama Ramadan, Ita sudah bertugas di Gaza Palestina membantu persalinan di beberapa rumah sakit di sana.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
Kisah Ita Muswita, Relawan Medis Indonesia di Gaza Palestina Ikhlas Jika Mati Syahid
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Tim/Bidan dan Perawat Bedah MER-C Ita Muswita berbagi kisahnya selama menjadi relawan medis yang ditugaskan di Palestina.
Hal itu diceritakan dalam podcast di Gedung Tribun Network, Palmerah, Jakarta, ditulis Sabtu (29/6/2024).
Sejak minggu pertama Ramadan, Ita sudah bertugas di Palestina membantu persalinan di beberapa rumah sakit di sana.
Baca juga: Penyergapan Jenin Adalah Keajaiban Militer, Tanpa Terowongan Pun Tentara Israel Ambrol Bak di Gaza
Baginya, tidak ada rasa kekhawatiran apabila harus mati syahid di medan pertempuran.
"Kebetulan Allah kasih saya di bidang kesehatan. Di MER-C kita nyebutnya jihad profesi. Hanya itu (keahlian medis) yang bisa kita kasih. Untuk dana, untuk apa... Kami punya keterbatasan," ucapnya.
Ita menyebut selama tugasnya di Gaza, suara ledakan bom dan rentetan tembakan selalu terdengar.
Kondisi itu yang membuat Ita tidak patah arang, karena warga di Palestina juga demikian.
Mereka sehari-hari bertahan hidup dan tidak tahu kapan akan meninggal dengan cara seperti apa.
"Tapi alhamdulillah kita diberikan profesi yang insya Allah bisa bantu saudara-saudara kita itu. Ini juga saya, kadang-kadang sebenarnya nggak mau cerita gitu. Takut timbulnya antara ria atau apa. Karena yang kita lakukan tuh nggak separah apa yang dirasakan teman-teman kita bertahan di Gaza," imbuhnya.
Dia melihat orang-orang di Gaza rela bertahan dari mereka kecil sampai mereka dewasa hanya untuk mempertahankan tanah mereka.
Ita mengerti dirinya sedang belajar ikhlas dari perjalanan hidup.
Baca juga: Ansarallah: Ketabahan Luar Biasa Rakyat Palestina Bikin Israel Menyerah pada Gencatan Senjata
"Itu tuh, kita tuh nggak ada apa-apanya. Jadi kalau keikhlasan ya, ya ikhlasan saja lah. Di Jakarta pun kita bisa saja meninggal misalnya kecelakaan kan tidak ada yang tahu," tuturnya.
Namun demikian, keluarganya dan orang tua mendukung penuh keputusan Ita yang memilih jalur menjadi relawan kemanusian di bidang kesehatan.
Selain itu, Ita juga melihat tidak ada satu orang ibu pun di Palestina yang ingin menggugurkan anaknya atau memberi hak asuh kepada orang lain.
"Sejauh saya di sana nggak dapetin itu (pemikiran itu), sejauh saya di sana ya. Di luar itu saya nggak tau. Karena saya di persalinan sejauh itu nggak ada. Ternyata mereka berjuang untuk kehamilannya," katanya.
Pernah suatu saat, Ita menawarkan kepada seorang ibu yang akan melahirkan agar anaknya diadopsi kepada temannya yang sudah sangat mapan.
Namun, tawaran Ita ditolak oleh ibu yang tengah hamil tua tersebut.
"Jadi di sana sulit di sana gitu misalnya model human trafficking itu susah. Walaupun sesusah-susahnya hidup anak itu tetap direngkuh," tutur Ita.
Dia tidak menampik adanya pemikiran agar anak-anak Palestina lebih baik diungsikan atau diadopsi di negara lain.
Sebab akan sangat sulit membesarkan anak di tenda dan zona pertempuran yang penuh risiko.
Mereka bilang tidak mengenal istilah adopsi.
"Orang tua di sana menyambut anaknya sebagai anugerah. Mereka merasa hari-harinya itu bersama anaknya. Artinya untuk apa juga di buang, lebih baik mati syahid di tangan," papar Ita.
Dari situ, Ita merasa dirinya belum sampai pada level tersebut dan itulah arti sesungguhnya makna kasih sayang saling mengasihi.
Karena hari ini manusia hidup belum tentu besok masih hidup.