Prancis Kacau, Macron Enggan Pilih Perdana Menteri dari Koalisi Pemenang Pemilu, Diancam Dimakzulkan
Macron diharapkan memilih perdana menteri dari partai atau koalisi pemenang pemilu, tetapi ia tidak melakukannya, yang memicu kekacauan politik.
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
TRIBUNNEWS.COM - Prancis kembali terjerumus ke dalam kekacauan politik setelah Presiden Emmanuel Macron menolak menunjuk perdana menteri dari koalisi sayap kiri yang memenangkan pemilu dadakan bulan lalu.
Dilansir The Guardian, Macron berharap "konsultasi" bisa mengatasai kebuntuan politik saat ini.
Hasil pemilu bulan lalu membuat Majelis Nasional terbagi menjadi tiga blok yang hampir sama, yakni sayap kiri, tengah, dan kanan ekstrem, yang tidak satu pun memiliki kursi mayoritas.
Macron menggelar rapat selama dua hari dengan para pemimpin partai dan parlemen untuk menunjuk perdana menteri yang memiliki dukungan lintas partai.
Tetapi Macron tidak memilih kandidat perdana menteri dari partai pemenang pemilu, Front Populer Baru (NFP).
Keputusan Macron itu disambut dengan kemarahan dan ancaman pemakzulan.
Dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada Senin (26/8/2024) malam, Istana Elysee menyebut diskusi Macron dan para pejabat berjalan dengan adil, tulus, dan bermanfaat.
Tetapi Istana mengatakan bahwa diskusi tersebut gagal menghasilkan solusi yang bisa dilaksanakan.
"Pemerintahan yang dibentuk oleh aliansi sayap kiri Front Populer Baru (NFP) – yang terdiri dari partai France Unbowed (LFI), partai Sosialis (PS), Partai Hijau (EELV) dan Partai Komunis (PCF) – akan menyebabkan mosi tidak percaya segera dan runtuhnya pemerintahan," kata Macron menjelaskan keputusannya.
“Mengingat pendapat yang diungkapkan oleh para pemimpin politik yang dimintai pendapatnya, stabilitas kelembagaan negara kita berarti bahwa opsi ini tidak boleh ditempuh.”
Macron mengumumkan putaran konsultasi lainnya dengan para pemimpin partai dan politisi veteran yang akan dimulai pada hari Selasa.
Baca juga: Macron Tolak Seruan Boikot Atlet Israel di Olimpiade Paris 2024, Izinkan Bendera Nasional Dikibarkan
"Tanggung jawab saya adalah memastikan bahwa negara tidak terhalang atau dilemahkan," tambah Macron.
Setelah pengumuman tersebut, NFP mengatakan tidak akan mengambil bagian dalam pembicaraan lebih lanjut kecuali untuk membahas pembentukan pemerintahan.
Dikutip dari Al Jazeera pada Juli lalu, aliansi NFP sukses meraih suara terbanyak dalam pemilu legislatif Prancis putaran kedua yang digelar Minggu (7/7/2024).
Tetapi sebenarnya, untuk memenangkan pemilu secara mutlak, partai atau koalisi harus mendapatkan setidaknya 289 dari 577 kursi di National Assembly atau Majelis Nasional (majelis rendah pada Parlemen Prancis).
Terdapat tiga aliansi yang mendominasi, tetapi semuanya gagal meraih suara mayoritas.
Mereka adalah:
- Front Populer Baru (NFP), sebuah aliansi luas partai-partai sayap kiri dan lingkungan hidup, memenangkan jumlah kursi terbanyak, 188 kursi.
- Ensemble! koalisi sentris yang dipimpin oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron, berada di urutan kedua dengan 161 kursi.
- National Rally (RN) dan sekutunya, yang dipimpin oleh pemimpin sayap kanan Marine Le Pen, memenangkan 142 kursi.
Karena tidak satu pun dari ketiga aliansi tersebut yang memenangkan mayoritas, Prancis memiliki parlemen yang menggantung.
Pemerintahan koalisi perlu dibentuk antar aliansi atau antar partai politik.
Namun perlu diingat, perdana menteri Prancis dipilih bukan berdasarkan hasil pemilu, tetapi penunjukan langsung oleh presiden.
Macron yang saat ini masih menjabat, berhak menunjuk seseorang dari partai lain sebagai perdana menteri, meski hal tersebut dapat memicu keributan politik seperti yang terjadi saat ini.
NFP telah mengajukan Lucie Castets, seorang ekonom berusia 37 tahun dan direktur urusan keuangan di Balai Kota Paris, sebagai kandidat perdana menteri.
Baca juga: Alasan Prabowo Temui Jokowi, Ungkap Pertemuannya dengan Putin, Erdogan, dan Macron
Ancaman Pemakzulan
Setelah pengumuman hari Senin, Jean-Luc Mélenchon, presiden France Unbowed (LFI), menuduh Macron menciptakan "situasi yang sangat serius".
LFI menyerukan demonstrasi yang mendesak presiden untuk menghormati demokrasi dan mengatakan akan mengajukan mosi pemakzulan Macron.
“Presiden republik tidak mengakui hasil hak pilih universal, yang menempatkan Front Populer Baru di puncak pemungutan suara,” katanya dalam sebuah pernyataan.
“Dia (Macron) menolak untuk menunjuk Lucie Castets sebagai perdana menteri."
"Dalam kondisi ini, mosi pemakzulan akan diajukan oleh anggota parlemen LFI."
"Setiap usulan untuk perdana menteri selain Lucie Castets akan tunduk pada mosi kecaman.”
Marine Tondelier, sekretaris jenderal Partai Hijau, mengatakan tindakan presiden itu adalah aib dan tidak bertanggung jawab secara demokratis.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)