Serangan IDF ke Lebanon Gagal Ubah Situasi, Warga Israel Marahi Pemerintah: Kami Warga Kelas Kedua
Banyak warga Zionis di Israel utara kecewa dengan serangan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) ke Lebanon beberapa hari lalu
Penulis: Febri Prasetyo
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM – Banyak warga Zionis di Israel utara kecewa dengan serangan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) ke Lebanon beberapa hari lalu.
Menurut mereka, serangan yang menargetkan kelompok Hizbullah itu belum bisa mengubah situasi di Israel utara.
Salah satu yang mengkritik serangan itu adalah kelompok Lobi 1701 yang mewakili penduduk Israel utara.
“Pagi ini kami mendapati kenyataan yang jelas: Suatu serangan pencegahan untuk menyingkirkan ancaman terhadap warga [Israel] tengah, ya. Melanjutkan serangan pencegahan dan menyingkirkan ancaman terhadap warga di utara, tidak,” tulis Lobbi 1701 dikutip dari laporan All Israel News hari Senin, (26/8/2024).
Penduduk Israel utara mulai dievakusi sejak perang di Jalur Gaza meletus tanggal 7 Oktober 2023. Hizbullah mendukung Gaza dengan cara terus menyerang Israel utara.
Serangan Israel ke Lebanon pada hari Minggu pagi, (25/8/2024), melibatkan sekitar 100 jet tempur. IDF mengklaim berhasil menghancurkan “ribuan peluncur roket Hizbullah.
Awalnya IDF menyatakan serangan itu dilakukan untuk mencegah serangan ke Israel tengah. Namun, kemudian muncul pernyataan yang mengonfirmasi bahwa sebagian besar peluncur roket itu menargetkan Galilea di Israel utara.
“IDF menghancurkan ribuan roket jarak dekat, semuanya dirancang untuk menyerang warga kita dan pasukan kita di Galilea. IDF juga menangkis semua pesawat nirawak yang mengarah ke target strategus di tengah negara ini,” kata Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Minggu malam.
Warga Israel utara ramai-ramai mengkritik pemerintah Israel. Mereka menyebut tidak ada “serangan pencegahan” yang dilakukan Israel saat warga Israel utara menghadapi ancaman rudal selama berbulan-bulan.
Lobi 1701 menyebut kebijakan pemerintah Israel itu sebagai “tindakan pengecut”.
“Tindakan pengecut dan sebuah serangan terhadap ide Zionis, yang dibuat oleh pemerintah dan resmi mengubah kami menjadi warga negara kelas dua,” kata kelompok itu.
“Penduduk di utara yang kini menghadapi ratusan roket bertanya satu pertanyaan sederhana: Mengapa tidak melanjutkan inisiatif itu dan juga menyingkirkan ancaman terhadap penduduk di utara, siapa yang mengisap ribuan rudal selama 10 bulan?”
Demi memprotes pemerintah, tiga pemimpin setempat menyatakan akan menghentikan semua komunikasi dengan pejabat Israel hingga ada rencana untuk mengatasi situasi di utara.
“Sebuah solusi yang meliputi keamanan penuh bagi pengungsi yang kembali ke rumah mereka, memastikan keamanan semua penduduk dan menyetujui rencana ekonomi untuk pemulihan di utara,” kata mereka.
Pernyataan itu ditandatangani oleh Wali Kota Metula, David Azoulai; Ketua Dewan Regional Mateh Asher, Moshe Davidovitz, dan Ketua Dewan Regional Galile Atas, Giora Zaltz.
“Perdana menteri, menteri, anggota koalisi, pejabat pemerintah, dan semua pegawai pemerintah di mana pun mereka bereada, kami tidak penting bagi kalian selama sepuluh dan setengah beulan ini, mulai sekarang kalian bukan kepentingan kami. Jangan memanggil, jangan datang, jangan mengirim pesan, kami sudah berhasil mengatur diri kami sendiri sejauh ini,” demikian pernyataan itu.
Warga Israel terancam harus hidup di bawah tanah
Hizbullah diperkirakan bakal mengakhiri kehidupan normal warga Israel jika perang besar antara Israel dan kelompok asal Lebanon itu meletus.
Pada hari Minggu lalu terjadi eskalasi besar di antara keduanya setelah Hizbullah menyerang Lebanon selatan.
Meski terjadi eskalasi besar, pengamat memperkirakan Hizbullah-Israel tetap tidak ingin terseret dalam perang berskala besar.
Jika terjadi, perang itu bisa mengakhiri kehidupan normal penduduk Israel dan menghanguskan harapan Iran dalam hal upaya diplomatik.
Koordinator bidang urusan internasional di Institut Kebijakan Publik Issam Fares Beirut, Yeghia Tashjian, mengklaim baik Israel maupun Hizbullah tak menginginkan perang besar.
Baca juga: Media Israel: 2.150 Warga Terluka oleh Rudal Hizbullah, Sistem Radar Rusak, Serangan Iran Menyusul?
Tashjian menyinggung beberapa faktor yang mendasarinya. Dua di antaranya adalah Pilpres AS dan upaya Iran untuk memulhkan hubungan diplomatik dengan negara-negara Barat.
Dia meyakini eskalasi terbaru ini tetaplah sebagai “pertempuran yang bisa diatur”. Itu menandakan kedua belah pihak belum siap menghadapi perang besar.
Seperti Tashjian, pakar kajian Timur Tengah di Universitas Sakarya Turki, Furkan Halit Yolcu, juga merasa Israel dan Amerika Serikat (AS) enggan terlibat dalam perang besar.
Yolcu menyebut Hizbullah tidak seperti Hamas. Hizbulllah bukan “aktor nonnegara berskala kecil”.
Kekuatan Hizbullah hampir seperti kekuatan militer nasional dalam hal angkatan darat. Selain, itu Hizbullah memiliki rudal dan sistem pertahanan udara yang bisa membahayakan setiap militer yang menyerangnya.
“Hizbullah punya tekad dan militer darat yang diperlukan agar bisa wilayah Israel terdampak sangat, sangat, sangat besar,” ujar Yolcu dikutip dari Sputnik.
Dia memperingatkan warga sipil Israel terancam harus tinggal di tempat perlindungan bawah tanah yang sudah dipersiapkan pemerintah mereka.
Hari-hari normal mereka bisa berakhir sepenuhnya karena Hizbullah mampu menembus sistem pertahanan udara Israel.
(Tribunnews/Febri)