Wanita Afghanistan vs Larangan Taliban, Terkekang Tak Boleh Bernyanyi, Membaca, Harus Tutup Wajah
Baru-baru ini, para wanita Afghanistan melakukan gerakan secara online atau daring unggah video bernyanyi sebagai aksi protes larangan Taliban
Penulis: Facundo Chrysnha Pradipha
Editor: Nanda Lusiana Saputri
TRIBUNNEWS.COM - Protes pembatasan terhadap tindak laku perempuan oleh Taliban di Afghanistan semakin kencang.
Baru-baru ini, para wanita Afghanistan melakukan gerakan secara online atau daring (dalam jaringan) mengunggah video pada media sosial.
Video yang diunggah adalah video diri mereka bernyanyi sebagai aksi menentang larangan Taliban.
Untuk diketahui, Taliban merupakan kelompok fundamentalis Islam yang mengklaim sebagai pemerintah sah di Afghanistan melayangkan sejumlah larangan khususnya untuk wanita Afghanistan.
Larangan-larangan tersebut salah satunya adalah melarang suara wanita di depan umum.
Shafaq memberitakan, akhir bulan lalu Taliban mengeluarkan seperangkat aturan baru yang bertujuan untuk mengekang "keburukan dan mempromosikan kebajikan."
Dokumen yang terdiri dari 35 pasal tersebut mencakup sejumlah tindakan keras, termasuk larangan bagi wanita untuk bernyanyi atau membaca dengan suara keras di depan umum.
Wanita juga diharuskan untuk menutupi seluruh tubuh mereka, termasuk wajah mereka, saat berada di tempat umum.
Pembatasan tersebut menuai kecaman internasional, dan kelompok hak asasi manusia menyebutnya sebagai "apartheid berbasis gender."
Perempuan Afghanistan juga mulai melawan.
Video yang beredar di internet memperlihatkan para wanita bernyanyi di luar ruangan, dengan beberapa memilih lagu yang berbicara tentang perlawanan dan kekuatan.
Baca juga: Taliban Larang Pertandingan MMA: Mengandung Kekerasan dan Bertentangan dengan Hukum Islam
Yang lain bernyanyi sambil mengenakan pakaian serba hitam, wajah mereka tertutup cadar.
Tagar seperti "#MyVoiceIsNotForbidden" dan "#NoToTaliban" menyertai video tersebut.
Perempuan Afghanistan yang tinggal di luar negeri juga bergabung dalam protes daring tersebut, dengan mengunggah video mereka sendiri sebagai bentuk solidaritas.
Pembatasan baru ini merupakan langkah terbaru dari serangkaian tindakan yang dicabut oleh Taliban sejak mereka kembali berkuasa pada tahun 2021.
Perempuan dan anak perempuan dilarang bersekolah di sekolah menengah, dilarang bekerja di sebagian besar jenis pekerjaan, dan dilarang menggunakan taman umum dan pusat kebugaran.
Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyerukan pencabutan undang-undang baru tersebut, dan menggambarkannya sebagai "sangat tidak dapat ditoleransi."
Larang MMA
Pemerintah Taliban resmi melarang seni bela diri campuran atau mixed martial arts (MMA) di Afghanistan karena mengandung kekerasan yang terlalu tajam dan melanggar hukum Islam.
Pemerintah Taliban menerbitkan larangan beladiri MMA pada minggu ini demi penyebaran kebajikan dan pencegahan kejahatan. Menurut Pemerintah Taliban, MMA "menimbulkan risiko kematian."
"Permainan pertarungan bebas dilarang mulai sekarang dan tidak seorang pun diizinkan untuk mempraktikkannya," kata juru bicara departemen olahraga Taliban, Atal Mashwani, kepada The Telegraph, Kamis, 29 Agustus 2024.
"Para atlet yang terlibat dalam olahraga tersebut dapat pindah ke olahraga lain pilihan mereka dan melanjutkan aktivitas mereka," katanya.
Mashwani mengatakan, keputusan melarang MMA di Afganistan setelah Taliban melakukan penyelidikan atas kepatuhan olahraga tersebut terhadap hukum Islam.
"Setelah penyelidikan, diputuskan bahwa olahraga tersebut harus dilarang," ungkapnya.
Juru bicara tersebut mencatat bahwa otoritas olahraga Afghanistan tidak memiliki statistik tentang jumlah atlet yang terlibat dalam MMA, karena para atlet tersebut “merupakan bagian dari organisasi swasta dan tidak terdaftar di departemen olahraga.”
Federasi Bela Diri Campuran Afghanistan, yang didirikan pada tahun 2008, telah menjadi populer di kalangan anak muda. Pada tahun 2015, turnamen MMA swasta pertama diadakan di Afghanistan.
Kejuaraan Bertarung Afghanistan (AFC) dan Kejuaraan Bertarung Sejati (TGFC) menyelenggarakan puluhan pertarungan sebelum Taliban kembali berkuasa pada tahun 2021.
Namun, kompetisi tersebut segera dilarang setelah undang-undang yang melarang “pukulan wajah” diperkenalkan.
Menurut laporan media, sebagian besar petarung MMA Afghanistan telah meninggalkan negara itu jauh sebelum pengumuman terbaru.
Beberapa atlet Afghanistan yang berkompetisi di Olimpiade Paris, baik di tim Olimpiade nasional maupun Olimpiade Pengungsi, awalnya terlibat dalam seni bela diri. Karena masalah keselamatan, MMA tidak diakui oleh Komite Olimpiade Internasional.
Taliban pertama kali berkuasa di Afghanistan pada tahun 1990-an, tetapi digulingkan pada tahun 2001 selama invasi yang dipimpin AS.
Taliban kembali berkuasa pada tahun 2021 setelah pemberontakan selama 20 tahun, yang memaksa presiden Afghanistan yang diakui secara internasional, Ashraf Ghani, untuk meninggalkan negara itu.
Boikot Utusan HAM PBB
Mengutip Reuters, Penguasa de facto Afganistan, Taliban, telah melarang Utusan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (HAM PBB), Richard Bennett, untuk masuk ke negara itu.
Taliban mengatakan Bennett dilarang masuk "karena dia ditunjuk ke Afganistan untuk menyebarkan propaganda dan dia bukan orang yang ucapannya bisa kita percaya.”
Bennett mengecam keputusan itu, dengan mengatakan, "Saya secara konsisten berusaha untuk terlibat secara transparan dengan pihak berwenang de facto (....). Saya mendesak Taliban untuk menarik kembali keputusan mereka dan menegaskan kesediaan dan ketersediaan saya untuk melakukan perjalanan ke Afganistan.”
Ia menyebut larangan tersebut sebagai "kemunduran”, dan bertekad bahwa hal ini tidak akan menghalanginya untuk mendokumentasikan situasi hak asasi manusia di negara tersebut.
"Pengumuman Taliban kepada publik bahwa mereka tidak akan lagi memberikan saya akses masuk ke Afganistan merupakan langkah kemunduran dan hal ini mengirimkan sinyal yang mengkhawatirkan tentang keterlibatan mereka terhadap PBB dan komunitas internasional mengenai HAM,” kata Bennett dalam sebuah pernyataan.
Kelompok yang menganut interpretasi ultrakonservatif terhadap hukum Islam ini telah memutar balik waktu terhadap hak kesetaraan gender, sejak kembali mengambil kendali pemerintahan atas Afganistan tiga tahun lalu pada Agustus 2021. Taliban secara efektif melarang perempuan untuk dilihat dan mengucilkan mereka dari masyarakat.
Perempuan di Afganistan menghadapi pembatasan akses untuk bersekolah atau pun bekerja.
Kebijakan kuno seperti ini telah membuat komunitas internasional tidak mengakui Taliban sebagai penguasa yang sah.
Sebagai contoh, aset-aset bank sentral negara ini telah dibekukan sejak Taliban kembali berkuasa dan banyak pemimpin Taliban dilarang bepergian ke luar negeri.
Pada Juni lalu, para pejabat tinggi PBB bersama dengan perwakilan dari 25 negara lainnya, bertemu dengan para pemimpin Taliban di Qatar dalam upaya untuk melakukan pendekatan. Pertemuan itu dikritik karena perempuan Afganistan dan perwakilan sipil dilarang hadir atas permintaan Taliban.
Di antara yang lainnya, Bennett telah menjadi kritikus konstan terhadap rezim Taliban, sejak dia ditunjuk sebagai utusan PBB pada 1 Mei 2022, meski Taliban telah berulang kali mencemooh kritik dari luar terhadap catatan hak asasi manusianya.
Bennett menyatakan bahwa dia mengambil tanggung jawabnya dengan serius sebagai ahli yang ditunjuk oleh PBB. Ia mengatakan pekerjaannya itu, "termasuk untuk kerap bertindak dalam kapasitas independen, menawarkan penilaian yang tidak memihak terhadap fakta-fakta berdasarkan standar dan metodologi hak asasi manusia yang diakui secara internasional, serta menjunjung tinggi standar efisiensi, kompetensi, dan integritas tinggi.”
Pada hari Rabu (21/08), Bennett mengatakan, "Saya juga akan terus mendokumentasikan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia dan mengadvokasi perbaikan.”
Pelapor khusus ini ditunjuk secara independen oleh Dewan HAM PBB, dan tidak dianggap sebagai pekerja PBB yang tidak berbicara atas nama badan internasional tersebut.
Selain pelapor khusus, PBB juga memiliki misi di Afganistan, di mana pihaknya terus memantau pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia dari Kabul.
(Tribunnews.com/ Chrysnha, Choirul Arifin)