Karpet Merah untuk Yahya Sinwar Keluar Gaza, Israel: Ada Tapinya
Israel siap memberikan perjalanan aman bagi Yahya Sinwar keluar Gaza, namun ada syaratnya
Penulis: Facundo Chrysnha Pradipha
Editor: Nanda Lusiana Saputri
TRIBUNNEWS.COM - Israel memberikan penawaran kepada pemimpin Hamas, Yahya Sinwar untuk keluar dengan aman dari Jalur Gaza.
Namun Israel memberikan persyaratan, yakni imbalan pembebasan para sandera.
Demikian dikatakan oleh utusan Israel untuk urusan sandera, Gal Hirsch, kepada Bloomberg News.
"Saya siap memberikan perjalanan yang aman bagi Sinwar, keluarganya, siapa pun yang ingin bergabung dengannya," kata Hirsch kepada biro berita Bloomberg di Washington DC.
Namun, Hirsch mengindikasikan tawaran tersebut secara langsung mengharuskan Hamas meninggalkan Gaza sepenuhnya.
"Kami ingin para sandera kembali. Kami ingin demiliterisasi, deradikalisasi tentunya — sebuah sistem baru yang akan mengelola Gaza."
Hirsch mengatakan kepada Bloomberg, dia mengajukan tawaran itu kepada Hamas melalui mediator beberapa hari lalu, tetapi menolak mengatakan tanggapan seperti apa yang diterima Israel.
Ia juga menunjukkan, tawaran itu tidak meniadakan kesediaan Israel untuk membebaskan tahanan keamanan Palestina sebagai bagian dari kesepakatan.
Tawaran perjalanan aman tersebut bukanlah tawaran keselamatan permanen, Hirsch menegaskan, dan mengatakan, Israel masih merencanakan “respons ala Munich” terhadap pembunuhan enam sandera Israel akhir bulan lalu.
Setelah terbunuhnya 11 atlet Israel di Olimpiade Munich tahun 1972, Israel melancarkan kampanye pembunuhan untuk membunuh teroris Palestina yang terlibat dalam penangkapan dan pembunuhan para atlet tersebut.
Kampanye ini berlangsung selama beberapa tahun.
Baca juga: Menhan Israel, Yoav Gallant Anggap Hamas Sudah Kelar, Sebut IDF Kini Alihkan Fokus Hadapi Lebanon
“Akan ada harga yang harus dibayar atas pembunuhan ini,” kata Hirsch tentang pembunuhan enam sandera.
Diberitakan AllIsraelNews, awal pekan ini, Menteri Pertahanan Yoav Gallant juga berjanji untuk membalas kematian para sandera, dengan mengatakan Israel akan membunuh Yahya dan Muhammed Sinwar.
“Kami juga akan menghubungi Muhammad Sinwar dan Yahya Sinwar - kami akan menghubungi semua orang ini, para teroris terkutuk ini. Siapa pun yang berpikir sebaliknya harus melihat Marwan Issa, Muhammad Deif. Mereka juga mengira mereka kebal, mereka tidak bersama kita hari ini, mereka membuat kesalahan. Dia [Sinwar] juga akan membuat kesalahannya, kami akan menjalankan misi kami,” kata Gallant saat berkunjung ke Koridor Netzarim di Gaza tengah pada hari Senin.
Tawaran Hirsch untuk memberikan perjalanan aman bagi Sinwar dan yang lainnya bukanlah pertama kalinya Israel melontarkan gagasan tersebut.
Pada bulan Mei, selama wawancara di podcast "Call Me Back" dengan Dan Senor, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu juga mengatakan bahwa pengasingan bagi para pemimpin Hamas adalah pilihan yang bersedia dipertimbangkan Israel.
"Dan, perang ini bisa berakhir besok," kata Netanyahu. "Jika Hamas meletakkan senjata, dan menyerah, eh, mengembalikan para sandera, perang berakhir. Terserah mereka. Gagasan pengasingan ada di sana. Kita punya, kita selalu bisa mendiskusikannya, tetapi saya pikir yang paling penting adalah menyerah jika mereka meletakkan senjata, jika mereka menyerah, perang berakhir."
Pada bulan Januari, kepala Mossad David Barnea juga mengusulkan pengasingan bagi para pemimpin Hamas sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata pembebasan sandera.
Sementara itu, Hamas merilis pernyataan pertama yang dikaitkan langsung dengan Sinwar sejak pengangkatannya sebagai pemimpin politik Hamas, menyusul pembunuhan Ismail Haniyeh.
Surat itu merupakan ucapan selamat kepada Presiden Aljazair Abdelmadjid Tebboune setelah ia dinyatakan sebagai pemenang pemilu baru-baru ini di negara itu. Hasil pemilu tersebut ditentang oleh kandidat oposisi.
“Pejuang Jihad yang terhormat, Yahya Sinwar, Kepala Biro Politik Gerakan Hamas, menyampaikan ucapan selamat kepada Yang Mulia Presiden Abdelmadjid Tebboune, Presiden Republik Demokratik Rakyat Aljazair, atas keberhasilan pemilihan presiden. Ia juga mengucapkan selamat kepada rakyat Aljazair atas kepercayaan yang diberikan kepadanya untuk memimpin negara ini. Ia mendoakan agar Allah SWT memberinya kesuksesan dan bantuan untuk mengabdi kepada Aljazair dan rakyatnya yang mulia.”
Dalam pesannya, Sinwar mengucapkan terima kasih kepada Tebboune atas dukungannya terhadap operasi “Banjir Al Aqsa” [nama Hamas untuk invasi 7 Oktober] dan mengklaim bahwa Hamas bertempur “secara heroik” melawan “pendudukan musuh.”
Hamas hanya merilis beberapa pernyataan yang dikaitkan dengan Sinwar sejak dimulainya Perang Gaza tahun lalu.
Salah Bunuh Sandera
Tentara Israel keliru membunuh tiga sandera dalam serangan udara yang menargetkan seorang pemimpin senior Hamas di Gaza utara.
Insiden itu terjadi pada Desember 2023 dan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) sengaja menyembunyikannya dari publik, menurut laporan media lokal, Senin (9/9/2024), dikutip dari Anadolu Ajansi.
Channel 12 Israel mengungkapkan, tiga sandera, termasuk dua tentara, yang menjadi korban salah bunuh itu adalah Nik Beizer, Ron Sherman, dan Elia Toledano.
Menurut saluran tersebut, tentara Israel tidak mengetahui ada sandera Israel di lokasi yang telah mereka targetkan.
Jasad ketiganya dievakuasi dari sebuah terowongan di Gaza pada pertengahan Desember 2023.
Saat itu, militer Israel menyebut tiga korban diculik hidup-hidup oleh Hamas pada 7 Oktober 2023.
Namun, militer Israel segera mengetahui rincian kematian para korban di bulan Februari 2024, tetapi memilih untuk tidak mempublikasikannya.
Terkait hal itu, Juru Bicara IDF, Daniel Hagari, mengatakan pihaknya masih terus menyelidiki seputar kematian tiga sandera Israel itu.
Nantinya, lanjut Daniel, pihaknya akan "menyampaikan hasilnya kepada keluarga mereka" mengenai hasil penyelidikan.
Di bulan yang sama, Desember 2023, tiga sandera Israel di lingkungan Shujaiya juga menjadi korban salah serangan.
Saat itu, militer Israel mengatakan tiga sandera terbunuh karena pasukan Zionis salah mengira mereka sebagai ancaman.
Baca juga: 2 Menteri Israel Dianggap Jadi Biang Kerok Ketegangan di Tepi Barat, Disebut Provokator
"Selama pertempuran di Shujaiya, (pasukan Israel) keliru mengidentifikasi tiga sandera Israel sebagai ancaman."
"Akibatnya, pasukan menembaki mereka dan mereka terbunuh," kata militer dalam sebuah pernyataan, dilansir Al Jazeera.
Para sandera itu diidentifikasi sebagai Yotam Haim, Samer Al-Talalka, dan Alon Shamriz.
Daniel Hagari saat itu mengungkapkan, ketiga sandera itu diyakini melarikan diri dari tempatnya ditahan atau ditelantarkan.
Salah sasaran terhadap sandera maupun pasukan Israel, menjadi hal yang lumrah selama perang di Gaza sejak 7 Oktober 2023.
Pada pertengahan Agustus 2024, seorang tentara Israel tewas dan enam lainnya terluka dalam penembakan yang "keliru" terhadap sebuah gedung di Khan Younis, Gaza selatan.
Gedung itu merupakan tempat untuk menampung pasukan Israel yang berperang di Gaza.
Militer Israel tidak memberikan perincian apapun tentang insiden itu.
Mereka hanya mengatakan seorang prajurit dari unit pengintaian Brigade Pasukan Terjun Payung Angkatan Darat tewas dan enam lainnya terluka.
Baca juga: 12 Kapal Israel Jadi Sasaran Iran, Panglima Tertinggi IRGC: Ini adalah Serangan Balasan
Lembaga penyiaran publik Israel, KAN, mengatakan korban tewas akibat sebuah pesawat tempur Israel menjatuhkan bom di sebuah bangunan yang berdekatan dengan gedung tempat pasukan ditempatkan.
Kemungkinan Perang Abadi di Gaza
Sebelumnya, pemimpin oposisi Israel, Yair Lapid, memperingatkan adanya kemungkinan "perang abadi" di Gaza.
Hal ini disampaikan Lapid dalam pernyataannya yang menyebut Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, tak berniat mewujudkan gencatan senjata di wilayah kantong itu.
Sebab, kata Lapid, Netanyahu lebih suka perang, ketimbang harus menghadapi tantangan internal dari rakyatnya sendiri.
"Dia lebih suka perang karena perang membebaskannya dari kebutuhan menghadapi tantangan internal," ungkap Lapid dalam pernyataannya, Rabu (4/9/2024), dikutip dari Independent.
Diketahui, pemerintahan Netanyahu tengah menghadapi kecaman keras dari rakyat Israel yang mendesak pertukaran sandera dengan Hamas segera disepakati.
Namun, Netanyahu terus menunda kesepakatan itu dan bersikeras mempertahankan militer Israel di Koridor Philadelphia.
Terkait hal itu, Lapid menilai Israel bisa menghadapi situasi tersebut asalkan Netanyahu mundur dari jabatannya dan perang di Gaza berakhir.
"Kita tahu bagaimana menghadapi tantangan internal, kita pernah melakukannya sebelumnya."
"Sudah saatnya mengganti pemerintahan dan mengakhiri perang (di Gaza)," urai dia.
Keinginannya itu berisiko menggagalkan kesepakatan gencatan senjata dengan Hamas, menurut media Amerika Serikat (AS).
Ngototnya Netanyahu soal Koridor Philadelphia telah "menjadi hambatan utama bagi gencatan senjata dan perjanjian pembebasan sandera dengan Hamas," lapor Washington Post, mengutip pejabat AS yang berperan sebagai mediator bersama Qatar dan Mesir.
(Tribunnews.com/ Chrysnha, Pravitri Retno W)