Ekonomi Israel di Ujung Tanduk, Inflasi Tembus 3,6 Persen akibat Perang Zionis dengan Hamas
Inflasi Israel di bulan Agustus 2024 dilaporkan meningkat menjadi 3,6 persen. Lebih tinggi jika dibandingkan dengan inflasi bulan Juli.
Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Febri Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM – Laju inflasi Israel pada bulan Agustus 2024 dilaporkan meningkat, melesat lebih tinggi daripada perkiraan analis tentang dampak perang Israel-Hamas yang tak kunjung mereda.
Mengutip data yang dirilis oleh Biro Statistik Pusat Israel, inflasi Israel per Agustus 2024 melonjak menjadi 3,6 persen. Ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan inflasi bulan Juli yang hanya 3,2 persen.
“Inflasi Israel meningkat lebih dari yang diperkirakan pada bulan lalu, Inflasi bulan-ke-bulan (MoM) meningkat dari 0,6 persen menjadi 0,9 persen,” kata Biro Statistik Pusat Israel mengutip The Times Of Israel.
Kepala strategi Bank Mizrahi Tefahot Yonnie Fanning menggambarkan situasi perang yang kian memanas telah memicu kenaikan CPI yang luar biasa tinggi, hingga inflasi Israel melesat jauh di atas kisaran target Bank Sentral.
Adapun kenaikan indeks CPI mencakup lonjakan biaya sayuran segar yang naik 13,2 persen, dipimpin oleh lonjakan harga tomat sebesar 37,3 persen.
CPI bulan Agustus melesat akibat adanya kenaikan biaya transportasi sebesar 2,8 persen, Kondisi tersebut kian diperparah imbas industri transportasi dan pariwisata yang terpuruk
Lantaran perang membuat maskapai penerbangan asing tidak lagi terbang ke Israel karena alasan keamanan.
Tak hanya itu, saat ini lebih sedikit kapal yang singgah di pelabuhan utama Israel, Eilat, karena serangan Houthi di Laut Merah.
Selain itu, sektor konstruksi juga ikut terpukul akibat kekurangan pekerja Palestina, hingga harga properti perumahan naik 0,6 persen, dan tarif pajak budaya dan hiburan melesat 0,5 persen menurut biro statistik.
Tak berhenti di situ, Israel juga meningkatkan pengeluaran untuk mendanai konflik melawan Hamas di Gaza dan mengatasi bentrokan antara pasukan Israel dan Hizbullah.
Baca juga: Rugi Besar, Ekonomi Israel Terus Memburuk akibat Perang di Gaza, Defisit Rp50 T di Bulan Agustus
Serangkaian tekanan ini yang kian membuat laju inflasi Israel melonjak ditengah krisis yang kian mencekik.
“Inflasi di Israel meningkat dan ini sangat meresahkan, terutama mengingat perilaku fiskal yang tidak bertanggung jawab oleh pemerintah Israel,” kata Dror Ohev Zion, pendiri dan CEO agensi pemasaran dan penjualan proyek perumahan Dara.
“Sangat tidak mungkin bank sentral akan menurunkan suku bunga dalam beberapa bulan mendatang dan ini berdampak negatif pada bisnis secara umum, pada industri real estat, dan rumah tangga,” imbuhnya.
Defisit Israel Bengkak Miliaran Dolar
Perang antara IDF dan Hamas yang kian memanas juga mendorong perekonomian Israel berada di ambang kehancuran.
Tercatat sejak Oktober hingga Juli kemarin defisit atau pengeluaran negara membengkak mencapai 8,1 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Menurut laporan Al Mayadeen dalam 12 bulan terakhir pengeluaran Israel melonjak jadi 8,5 miliar shekel atau naik 2,2 miliar dolar AS.
Angka tersebut melesat jauh dari target defisit Israel di tahun 2024 yang hanya dipatok 6,6 persen.
“Meningkatnya pengeluaran terkait keamanan dan sipil, memicu pengeluaran publik mencapai 49,4 miliar shakel pada bulan Juli, hingga pengeluaran tahun terkait perang sejak 7 Oktober telah membengkak mencapai 88,4 miliar shekel,” ujar laporan Al Mayadeen.
Adapun defisit fiskal mulai dirasakan Israel setelah negara zionis ini meningkatnya pengeluaran terkait perang, untuk membeli perlengkapan dan alat tempur serta membiayai perekrutan tentara cadangan yang akan dikirim ke Gaza melawan serangan kelompok Hamas di Gaza dan Hizbullah di Lebanon.
Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu berdalih penambahan anggaran perang yang dilakukan Netanyahu dapat memperkuat benteng pertahanan Israel dalam melawan musuh.
Namun pembengkakan biaya belanja pertahanan tanpa melakukan penyesuaian pos anggaran bisa berpotensi merugikan ekonomi negara.
Terlebih belakangan ini kondisi ekonomi Israel tengah dilanda krisis akibat hilangnya pendapatan penduduk di dekat perbatasan Gaza dan Lebanon buntut dari perang.
Tak hanya itu, surat kabar Israel Maariv mencatat setidaknya sudah ada 46.000 perusahaan Israel yang bangkrut dan gulung tikar sejak pecahnya perang pada 7 Oktober 2023.
Situasi semakin tegang dengan adanya kemungkinan balasan Iran terhadap rezim tersebut, yang telah mendorong banyak pemangku kepentingan untuk menarik investasi mereka.
Israel Sesumbar Ekonominya Kuat
Imbas pembengkakan anggaran perang, banyak pihak menilai negara Zionis ini akan jatuh ke jurang inflasi.
Kendati menghadapi kritikan pedas, Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich dengan tegas menyatakan bahwa perekonomian Israel kuat dalam segala hal.
Menurutnya pemangkasan peringkat yang dilakukan Moody's dan Fitch mencerminkan kurangnya kepercayaan pada keamanan dan kekuatan nasional Israel.
Hal senada juga dilontarkan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang mengatakan bahwa ekonomi Israel masih kuat, setelah perang berakhir peringkat tersebut akan naik sekali lagi.
(Tribunnews.com/ Namira Yunia)