Hampir 70 Orang Tewas dalam Serangan Al Qaeda di Mali
Serangan besar-besaran oleh afiliasi Al Qaeda di ibu kota Mali minggu ini menewaskan sekitar 70 orang.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Serangan besar-besaran oleh afiliasi Al Qaeda di Bamako, Ibu Kota Mali pada minggu ini, menewaskan sekitar 70 orang, demikian kata sumber diplomatik dan keamanan, Kamis (19/9/2024) kemarin.
Sejumlah 200 orang juga terluka dalam eskalasi tersebut.
Sementara, Jerusalem Post melaporkan, pemerintah tidak memberikan angka pasti mengenai korban jiwa.
Pihak berwenang Mali yang dipimpin militer sejauh ini belum merilis jumlah pasti korban tewas akibat serangan tersebut, yang diklaim oleh Kelompok Pendukung Islam dan Muslim (JNIM) yang terkait dengan Al Qaeda.
Sebuah sumber keamanan yang berbicara dengan syarat anonim mengatakan kepada AFP, 77 orang tewas dan 255 orang terluka dalam serangan Selasa (17/9/2024) di Bamako.
Sebuah dokumen resmi rahasia yang telah diautentikasi menyebutkan jumlah korban sekitar 100 orang, dengan 81 nama korban, lapor Le Soir.
"Operasi tersebut merupakan yang pertama kali dilakukan selama bertahun-tahun dan merupakan pukulan telak bagi junta yang berkuasa," kata para ahli.
Bamako biasanya terhindar dari serangan yang terjadi hampir setiap hari di beberapa bagian negara Afrika Barat tersebut.
Militan menyerang akademi pelatihan polisi elite dan bandara pada Selasa (17/9/2024), menunjukkan kemampuan mereka untuk menyerang jantung ibu kota.
Negara ini memerangi pemberontakan yang berakar lebih dari satu dekade lalu di wilayah utara, Reuters melaporkan.
Baca juga: Mali Perintahkan Duta Besar Swedia Hengkang dalam Waktu 3 Hari
Skala dan kompleksitas serangan tersebut semakin melemahkan klaim junta yang berkuasa bahwa keamanan telah membaik sejak mereka mengusir pasukan Prancis dan AS, dan beralih ke Rusia untuk keamanan.
Dua diplomat yang bertugas di wilayah tersebut, termasuk satu orang yang bertugas di Bamako mengatakan jumlah korban tewas diperkirakan mencapai 70-an.
Reuters tidak dapat memverifikasi angka tersebut secara independen.
Diplomat ketiga yang bertugas di wilayah tersebut mengatakan ratusan orang diperkirakan tewas dan terluka, dan rumah sakit kehabisan tempat tidur untuk merawat para korban.
Sejak konflik di Mali meletus, kekerasan telah menyebar ke negara-negara tetangga di wilayah Sahel dan mencapai wilayah utara negara-negara pesisir.
Ribuan orang telah terbunuh dan jutaan orang mengungsi di wilayah tersebut, dan beberapa pejuang bersekutu dengan Al Qaeda atau ISIS.
Serangan itu terekam dalam video yang dipublikasikan di media sosial yang menunjukkan pemberontak membakar jet kepresidenan dan mayat-mayat di akademi polisi.
Hanya beberapa hari sebelumnya, pemimpin junta Mali Assimi Goita, yang merebut kekuasaan melalui kudeta pada tahun 2021, mengatakan tentaranya telah secara signifikan melemahkan kelompok bersenjata yang dilawannya dengan bantuan Rusia.
Serangan itu juga terjadi setelah pertempuran yang menelan banyak korban pada bulan Juli, ketika pemberontak menyapu bersih sejumlah tentara bayaran Rusia yang berpengalaman dan pasukan Mali dalam pertempuran di dekat perbatasan utara Mali dengan Aljazair.
Staf umum mengakui pada Selasa malam bahwa "beberapa nyawa manusia hilang", terutama personel di pusat
Ucapan belasungkawa dan kecaman
Dikutip dari France24, tetangga Mali, Senegal dan Ketua Komisi Uni Afrika Moussa Faki Mahamat pada Kamis mengutuk serangan tersebut.
Kedutaan Besar Prancis di Bamako menyampaikan "ucapan belasungkawa kepada pemerintah Mali".
Para ahli mengatakan serangan itu melemahkan strategi militer dan retorika junta yang mengklaim situasi keamanan terkendali meskipun para jihadis berkeliaran di wilayah Sahel selama bertahun-tahun.
Peristiwa Selasa sebagian besar memicu kecaman dan seruan untuk persatuan di Mali.
Dengan latar belakang pembatasan ketat terhadap kebebasan berekspresi di bawah junta, hampir tidak ada tokoh masyarakat yang bersuara menentang kelalaian keamanan yang nyata.
Surat kabar Nouvel Horizon, salah satu suara berbeda yang langka, menulis di halaman depannya bahwa sudah "waktunya untuk menyalahkan semua tingkatan".
Banyak warga Mali yang menggunakan media sosial untuk menuntut agar mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran keamanan dihukum.
Peristiwa tersebut juga menimbulkan kekhawatiran bahwa komunitas tertentu dapat menjadi sasaran pembalasan.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)