Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Eskalasi Konflik Israel-Lebanon Meningkat, Warga Gaza Takut Dilupakan Nasibnya oleh Dunia

Warga Gaza mulai khawatir dilupakan dunia buntut meningkatnya eskalasi konflik antara Israel dan Lebanon.

Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Sri Juliati
zoom-in Eskalasi Konflik Israel-Lebanon Meningkat, Warga Gaza Takut Dilupakan Nasibnya oleh Dunia
AFP/EYAD BABA
Warga Palestina berdiri di halaman sekolah Al-Jawni (Jaouni) setelah serangan udara Israel menghantam lokasi tersebut, di Nuseirat, Jalur Gaza tengah, pada 11 September 2024, di tengah perang yang sedang berlangsung di wilayah Palestina antara Israel dan Hamas. - Serangan udara Israel pada 11 September menghantam sekolah Gaza tengah, badan pertahanan sipil wilayah yang dikuasai Hamas melaporkan 10 orang tewas di fasilitas yang diubah menjadi tempat perlindungan pengungsian itu dan militer mengatakan serangan itu menargetkan militan. (Photo by Eyad BABA / AFP) 

TRIBUNNEWS.COM - Eskalasi konflik antara Israel dan Lebanon mulai meningkat ketika dua negara tersebut saling balas serangan.

Terbaru, Israel melakukan serangan udara pada Senin (23/9/2024) sehingga mengakibatkan 492 orang tewas, menurut Kementerian Kesehatan Lebanon seperti dikutip dari Reuters.

Pasca serangan itu, dunia pun mulai memperhatikan konflik yang terjadi antara Israel dan Lebanon.

Teralihnya perhatian dunia ini ternyata dikhawatirkan oleh warga Gaza di mana dalam kurun waktu setahun terakhir telah menderita akibat agresi dan genosida oleh Israel.

Salah satu warga Gaza yang khawatir adalah Nezar Zaqout.

Dikutip dari Associated Press (AP), Zaqout khawatir bahwa pertempuran yang terjadi di perbatasan Israel-Lebanon akan mengambil alih perhatian tehadap kondisi kehidupan yang sangat buruk di Gaza.

Selain itu, dia juga khawatir terkait ancaman tertundanya gencatan senjata antara Israel dan Hamas.

BERITA TERKAIT

"Kami telah benar-benar dilupakan. Tidak ada berita tentang kami di media," ujar Zaqout yang kini mengungsi di Khan Younis.

Di sisi lain, warga Palestina khawatir kondisi memprihatinkan di Gaza bakal menjadi permanen.

Baca juga: Pertempuran Masuki Fase Baru, Hizbullah Balas Israel dengan Roket, Desak Zionis Akhiri Perang Gaza

Pasalnya, hampir 90 persen penduduk Gaza kini tidak memiliki tempat tinggal akibat agresi Israel.

Selain itu, ratusan ribu penduduk Gaza kini tinggal di tenda-tenda pengungsian dan berjuang mendapatkan makanan dan air bersih.

"Setahun berlalu, dan tidak ada yang peduli dengan kami. Setiap hari ada pemboman, setiap hari ada yang mati syahid, dan setiap hari ada yang terluka," ujar warga Gaza lainnya, Saadi Abu Mustafa yang mengungsi ke kamp pengungsian Muwasi di pantai selatan Gaza.

Diketahui, sejak Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober 2023, Zionis langsung membalasnya dengan serangan bertubi-tubi.

Hingga Senin (23/9/2024) kemarin, total sudah ada 41.000 warga Palestina dan 95.000 lainnya mengalami luka-luka akibat agresi Israel.

Selain itu, berdasarkan citra satelit, sekitar 60 persen bangunan di Jalur Gaza sudah mengalami rusak berat.

Sementara, seiring dengan meningkatnya ancaman perang antara Israel dan organisasi Hizbullah di Lebanon, militer Israel telah ditarik mundur di Gaza dan unit-unit penting dipindahkan ke perbatasan utara Lebanon.

Kendati demikian, Israel masih tetap menyisakan ribuan tentara di Gaza agar melakukan serangan sporadis dan mencegah warga Palestina yang mengungsi untuk kembali ke rumah.

Hal tersebut dibuktikan dengan serangan Israel yang masih dilancarkan pada Sabtu (21/9/2024) lalu.

Serangan yang mengincar sebuah pengungsian di Gaza Utara itu mengakibatkan 22 orang tewas dan 30 lainnya mengalami luka di mana korban sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak.

Penderitaan warga Gaza pun semakin terasa ketika hujan mengguyur Muwasi pada Minggu (22/9/2024) lalu.

Baca juga: Israel Tawarkan kepada Hamas untuk Akhiri Perang Gaza, Biarkan Sinwar Pergi, dengan Syarat Ini

Hujan tersebut mengakibatkan barang-barang berharga hingga makanan terendam air.

"Seluruh dapur tempat kami menyiapkan makanan terendam air. Kami tidak tahu apa yang harus dilakukan."

"Ini adalah awal musim dingin. Apa yang akan terjadi dalam beberapa hari ke depan?" ucap seorang ibu yang mengungsi bernama Rana Goza't.

Hal semacam ini pun membuat warga Gaza semakin kencang bersuara agar pihak internasional tetap memperhatikan nasibnya.

"Kami berharap semua orang peduli dengan kami dan melihat apa yang telah kami capai," ujar seorang pengungsi di Muwasi, Enas Kollab.

Realisasi Gencatan Senjata Makin Jauh dari Harapan

Seorang wanita Palestina memberi isyarat di halaman sekolah Al-Jawni (Jaouni) setelah serangan udara Israel menghantam lokasi tersebut, di Nuseirat, Jalur Gaza tengah, pada 11 September 2024, di tengah perang yang sedang berlangsung di wilayah Palestina antara Israel dan Hamas. - Serangan udara Israel pada 11 September menghantam sebuah sekolah di pusat kota Gaza, dengan badan pertahanan sipil wilayah yang dikuasai Hamas melaporkan 10 orang tewas di fasilitas yang diubah menjadi tempat penampungan pengungsian itu dan militer mengatakan bahwa mereka telah menargetkan militan. (Photo by Eyad BABA / AFP)
Seorang wanita Palestina memberi isyarat di halaman sekolah Al-Jawni (Jaouni) setelah serangan udara Israel menghantam lokasi tersebut, di Nuseirat, Jalur Gaza tengah, pada 11 September 2024, di tengah perang yang sedang berlangsung di wilayah Palestina antara Israel dan Hamas. - Serangan udara Israel pada 11 September menghantam sebuah sekolah di pusat kota Gaza, dengan badan pertahanan sipil wilayah yang dikuasai Hamas melaporkan 10 orang tewas di fasilitas yang diubah menjadi tempat penampungan pengungsian itu dan militer mengatakan bahwa mereka telah menargetkan militan. (Photo by Eyad BABA / AFP) (AFP/EYAD BABA)

Di sisi lain, mengutip dari Reuters, aktivitas diplomasi terkait kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas dianggap semakin jauh dari harapan.

Hal itu dibuktikan dari masing-masing pihak yang justru saling tuduh telah beritikad buruk dalam perundingan.

Gencatan senjata pun dinilai semakin sulit terealisasi ketika Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu justru menginginkan militer Israel tetap berada di dua wilayah Gaza demi mencegah Hamas mempersenjatai diri.

Di sisi lain, Hamas menolak kesepakatan apapun terkait diizinkannya pasukan Israel untuk tetap berada di Gaza.

Tak cuma itu, mediator utama perundingan gencatan senjata yaitu Amerika Serikat (AS) dinilai semakin tidak bisa diandalkan ketika dianggap kehilangan kemampuan mempengaruhi Israel agar gencatan senjata terjadi di Gaza.

Redupnya taji AS sebagai mediator utama terlihat ketika Menteri Luar Negeri, Antony Blinken hanya mengunjungi Mesir pada pekan lalu alih-alih juga melakukan kunjungan ke Israel.

Dikutip dari CNN, pejabat AS melarang Blinken karena dianggap perjalanan ke Israel untuk mendukung kesepakatan gencatan senjata bisa membuat Netanyahu marah dan justru merusak upaya-upaya mediasi.

Kendati demikian, di luar upaya gencatan senjata yang semakin jauh panggang dari api, satu masalah besar dipastikan dialami Gaza yaitu pembangunan kembali seluruh infrastruktur di sana.

Dilansir The Guardian, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa hanya untuk sekedar membersihkan puing reruntuhan yang diperkirakan seberat 40 juta ton, dibutuhkan waktu selama 15 tahun.

Perkiraan waktu tersebut, kata PBB, di luar pembangunan kembali bangunan-bangunan yang hancur akibat serangan Israel.

(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)

Artikel lain terkait Konflik Palestina vs Israel 

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas