Netanyahu Labil soal Konflik Israel-Hizbullah: Setuju Gencatan Senjata, tapi Kini Serang Beirut
Netanyahu terkesan labil dalam menghadapi konflik antara Israel dan Hizbullah. Kemarin dia setuju gencatan senjata, kini justru serang Beirut.
Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
TRIBUNNEWS.COM - Sikap Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu dalam menyikapi konflik antara negaranya dengan kelompok militan Lebanon, Hizbullah terbilang tidak menentu.
Sebelumnya, Netanyahu sempat menyetujui adanya gencatan senjata terkait konflik Israel-Lebanon dalam rangka menyikapi seruan serupa yang disampaikan Amerika Serikat (AS) dan Prancis.
Sebagai informasi, AS dan Prancis menyerukan agar gencatan senjata direalisasikan selama 21 hari.
Namun, Netanyahu enggan untuk menyetujui seruan tersebut.
Kendati tetap setuju adanya gencatan senjata, namun Netanyahu hanya ingin hal tersebut dilakukan selama tujuh hari.
Hal ini disampaikan oleh pemimpin partai Yesh Atid yang merupakan oposisi di Israel, Yair Lapid.
Menurut Lapid, Netanyahu hanya setuju gencatan senjata dilakukan selama tujuh hari agar Hizbullah tidak dapat memulihkan sistem komandonya.
Tak cuma itu, dia juga menyebut Netanyahu memberikan syarat lain agar gencatan senjata bisa terjadi yaitu dengan ditariknya pasukan Hizbullah dari perbatasan utara Israel.
"Negara Israel harus mengumumkan pagi ini bahwa mereka menerima proposal gencatan senjata Biden-Macron, tetapi hanya untuk tujuh hari agar Hizbullah tidak dapat memulihkan sistem komando dan kendalinya. Kami tidak akan menerima proposal apa pun yang tidak mencakup pemindahan Hizbullah dari perbatasan utara kami," tulis Lapid di akun X pribadinya pada Kamis (26/9/2024), dikutip dari The Guardian.
Baca juga: Tank-Tank Israel Sudah di Perbatasan, Siap Merangsek Lebanon, Netanyahu Bersumpah Gempur Hizbullah
Selain itu, gencatan senjata bisa terjadi jika permintaan Netanyahu soal warganya kembali dari perbatasan Lebanon bisa terwujud.
"Setiap pelanggaran - bahkan sekecil apapun - terhadap gencatan senjata, akan menyebabkan Israel menyerang lagi dengan kekuatan penuh dan di semua wilayah Lebanon," sambung Lapid.
Netanyahu Berubah Pikiran soal Gencatan Senjata, Dipengaruhi 3 Menterinya
Dikutip dari surat kabar Israel, Haaretz, Netanyahu justru berubah pikiran terkait gencatan senjata tersebut.
Dalam perjalanannya ke New York, AS untuk menghadiri Sidang Majelis Umum PBB, Netanyahu justru enggan untuk merealisasikan gencatan senjata.
Perubahan sikap itu buntut adanya kritik tajam dari menteri di kabinetnya.
Ada tiga menteri yang menentang gencatan senjata yaitu Menteri Keuangan, Bezalel Smotrich; Menteri Keamanan Nasional, Itamar Ben Gvir; dan Menteri Luar Negeri, Israel Katz.
Smotrich mengungkapkan serangan udara yang menyasar ke Hizbullah adalah satu-satunya jalan.
"Serangan di utara harus diakhiri dengan satu hasil: menghancurkan Hizbullah dan menghilangkan kemampuannya untuk menyakiti warga [Israel] di utara," kata Smotrich.
Sementara, Ben Gvir mengancam akan memboikot kabinet jika Netanyahu setuju untuk melakukan gencatan senjata.
Bahkan, dia juga mengancam akan mengundurkan diri.
"Hal yang paling mendasar dan jelas adalah bahwa ketika musuh Anda bertekuk lutut, Anda tidak membiarkan mereka pulih, tetapi sebaliknya Anda bertindak untuk mengalahkan dan menggulingkan mereka," ujar Ben Gvir.
Sedangkan, Katz tetap menginginkan agar Israel menyerang Hizbullah dan memenangkan peperangan.
"Tidak akan ada gencatan senjata di wilayah utara. Kami akan terus berjuang melawan organisasi teroris Hizbullah dengan seluruh kekuatan kami hingga kemenangan diraih dan penduduk wilayah utara dapat kembali ke rumah mereka dengan selamat," kata Katz.
Kini Serang Beirut, Tewaskan Pimpinan Hizbullah
Baru sehari menerima gencatan senjata meski dengan sejumlah syarat, Netanyahu justru memerintahkan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) untuk menyerang ibu kota Lebanon, Beirut pada Kamis (27/9/2024) sore waktu setempat.
Dikutip dari Times of Israel, serangan udara yang dilancarkan IDF itu pun menewaskan seorang pemimpin senior Hizbullah bernama Mohammed Hussein Sorour .
Sebagai informasi, Sorour merupakan kepala pasukan udara Hizbullah yang bertanggung jawab atas armada pesawat tak berawak dan rudal jelajah.
Selain Sorour, Kementerian Kesehatan Lebanon juga mengungkapkan ada satu orang lainnya yang turut tewas, namun identitas dari korban tersebut tidak disebutkan.
IDF menyebut Srur bertanggung jawab atas arahan dan perintah untuk melakukan berbagai serangan udara ke Israel, termasuk pesawat tak berawak yang sarat bahan peledak dan rudal jelajah.
Baca juga: Eks Bos Mossad: Netanyahu Lebih Pilih Balas Dendam Ketimbang Bebaskan Tawanan Israel di Gaza
Pasukan Zionis tersebut mengungkapkan dalam beberapa tahun terakhir, Sorour telah memimpin pembuatan drone Hizbullah dan mendirikan lokasi pembuatannya di Lebanon yang disebut berada di pinggiran Beirut.
Pimpinan IDF, Herzi Halevi menuturkan pasukannya wajib melanjutkan serangan lagi ke Hizbullah usai tewasnya Srur.
"Kita harus terus menyerang Hizbullah. Kami telah menunggu kesempatan ini selama bertahun-tahun," kata Halevi setelah sebuah penilaian, dalam pernyataan yang diberikan oleh IDF, mengisyaratkan bahwa militer menentang gencatan senjata pada tahap ini."
"Kami terus bekerja untuk membuat pencapaian, untuk menghilangkan lebih banyak pejabat senior, untuk menggagalkan transfer senjata, untuk (menghancurkan) daya serang Hizbullah, dan untuk menyerangnya di seluruh Lebanon," kata Halevi.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)
Artikel lain terkait Konflik Palestina vs Israel