Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Hamas Tolak Gencatan Senjata dengan Israel di Gaza Kalau Cuma Berlangsung Satu Bulan

Mediator yang berusaha untuk menengahi gencatan senjata Gaza diperkirakan akan mengusulkan gencatan senjata “kurang dari sebulan” kepada Hamas

Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
zoom-in Hamas Tolak Gencatan Senjata dengan Israel di Gaza Kalau Cuma Berlangsung Satu Bulan
rntv/tangkap layar
Pejuang Brigade Al Qassam, sayap militer Hamas, mengawal proses pembebasan sandera Israel pada akhir November 2023 silam. 

Hamas Tolak Gencatan Senjata dengan Israel Kalau Cuma Sebulan

TRIBUNNEWS.COM - Seorang pejabat senior Hamas pada Kamis (31/10/2024) mengatakan kalau gerakan pembebasan Palestina itu menolak proposal gencatan senjata sementara di Gaza.

Proposal itu disebutkan berisi rencana penghentian sementara perang yang sudah berlangsung lebih dari satu tahun di Gaza.

Hamas berkeinginan gencatan senjata yang terjadi bersifat permanen.

Baca juga: 4 Personel Komando Elite Unit Hantu IDF Tewas di Gaza, Pakar Militer: Umpan Jebakan Hamas Sukses

“Soal gagasan jeda sementara dalam perang, hanya untuk melanjutkan agresi nanti, adalah sesuatu yang telah kami nyatakan. Hamas mendukung akhir permanen perang, bukan yang sementara,” kata Taher al-Nunu, seorang pemimpin senior gerakan itu, kepada AFP.

Mediator yang berusaha untuk menengahi gencatan senjata Gaza diperkirakan akan mengusulkan gencatan senjata “kurang dari sebulan” kepada Hamas, ujar sumber dengan pengetahuan tentang pembicaraan mengatakan kepada AFP pada Rabu (30/10/2024).

"Pertemuan antara kepala Mossad David Barnea, Direktur CIA Bill Burns dan perdana menteri Qatar di Doha, pada Senin kemarin, membahas mengusulkan gencatan senjata “jangka pendek”, “kurang dari sebulan”," kata sumber mengatakan dengan syarat anonim karena sensitivitas pembicaraan.

BERITA REKOMENDASI

Proposal tersebut melibatkan pertukaran sandera Israel untuk warga Palestina di penjara-penjara Israel dan meningkatkan bantuan ke Gaza, sumber itu menambahkan.

"Para pejabat AS percaya bahwa jika kesepakatan jangka pendek dapat dicapai, itu dapat mengarah pada kesepakatan yang lebih permanen," kata sumber itu.

Taher al-Nunu mengatakan Hamas belum menerima proposal sejauh ini, menambahkan jika mendapat rencana seperti itu, Hamas akan merespons dengan penolakan.

Namun, ia menegaskan kembali tuntutan kelompok itu telah bersikeras selama berbulan-bulan - "gencatan senjata permanen, penarikan (pasukan Israel) dari Gaza, kembalinya orang-orang terlantar, bantuan kemanusiaan yang cukup ke Gaza dan kesepakatan pertukaran tahanan yang serius".

Jaminan Penarikan Mundur Pasukan Israel

Adapun Pejabat senior Hamas, Sami Abu Zuhri, Rabu (30/10/2024) mengatakan kalau kelompoknya terbuka terhadap kesepakatan atau perjanjian apa pun yang akan mengarah pada gencatan senjata dan penarikan militer Israel dari Jalur Gaza.


Abu Zuhri menyerukan ke para pendukung Israel untuk melakukan tekanan efektif agar negara pendudukan menghentikan agresinya.

Baca juga: Tentara Israel: Pemukim Yahudi Ekstremis Mau Masuk Jalur Gaza, Hamas: Genosida Keji di Rumah Sakit

Zuhri menambahkan, keputusan Knesset Israel untuk melarang operasi Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) di Wilayah Pendudukan merupakan “keputusan yang tidak adil”.

Ia menyatakan kalau Israel telah menghancurkan kemampuan pertahanan sipil Gaza, sehingga tidak dapat menjalankan perannya di Gaza utara.

Ia menambahkan bahwa sekitar 600 warga Palestina telah ditahan di Gaza utara, dan nasib mereka saat ini belum diketahui.

Abu Zuhri juga menekankan kalau pasukan Israel sedang meningkatkan operasi militer terhadap warga sipil di Gaza, khususnya di wilayah utara, dan menggambarkan peningkatan ini sebagai “genosida.”

Berikut poin-poin kunci pernyataan Abu Zuhri:

- “Pendudukan meningkatkan genosida terhadap orang-orang di Gaza, terutama di utara.”

- “Pendudukan telah menghancurkan kemampuan pertahanan sipil, mencegah mereka memenuhi peran mereka di Gaza utara.”

- “Pendudukan telah menahan sekitar 600 warga Palestina di Gaza utara, dengan nasib mereka saat ini tidak diketahui.”

- “Kami menyerukan tekanan efektif pada pendukung pendudukan untuk menghentikan agresi.”

- “Suara Knesset Israel untuk melarang operasi UNRWA adalah keputusan yang tidak adil.”

- “Kami telah menanggapi permintaan mediator untuk membahas proposal baru untuk perjanjian gencatan senjata.”

- “Kami terbuka untuk perjanjian apa pun yang akan mengarah pada gencatan senjata dan penarikan pasukan pendudukan dari Gaza.”

Dua Sandera Rusia Akan Dibebaskan Duluan

Sebelumnya, Hamas pada Jumat (25/10/2024) mengatakan kalau dua tawanan akan diberikan prioritas untuk dibebaskan jika terjadi gencatan senjata dan kesepakatan pertukaran tawanan di Jalur Gaza dengan Israel

Pejabat senior Hamas Mousa Abu Marzook mengatakan kepada kantor berita Rusia RIA, kalau dua tawanan Rusia, Alexander (Sasha) Trufanov dan Maxim Herkin, akan menjadi orang pertama yang dibebaskan dari Jalur Gaza – tetapi hanya sebagai bagian dari gencatan senjata dan kesepakatan pertukaran sandera.

Baca juga: Nasib Jenazah Yahya Sinwar, Israel Takut Makam Pemimpin Hamas Bakal Jadi Lokasi Sakral

Keduanya memiliki kewarganegaraan ganda – Israel dan Rusia, dan Abu Marzook mengatakan hal ini akan dilakukan sebagai “isyarat penghormatan” Hamas terhadap Rusia.

Komentar itu muncul setelah pejabat senior Hamas bertemu kemarin di Moskow dengan Wakil Menteri Luar Negeri dan Perwakilan Khusus Rusia untuk Timur Tengah, Mikhail Bogdanov.

Delegasi Rusia dari Moskow tiba di Israel hari ini untuk membahas negosiasi bagi kemungkinan pembebasan mereka.

Media berbahasa Ibrani mengatakan delegasi tersebut menyampaikan pesan dari Presiden Rusia Vladimir Putin kepada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk mengakhiri agresi militer yang sedang berlangsung terhadap Gaza dan Lebanon.

Minta Rusia Tekan Presiden Palestina Bentuk Pemerintahan

Hamas juga ingin Rusia mendesak Presiden Palestina Mahmoud Abbas untuk memulai perundingan mengenai pemerintahan persatuan untuk Gaza pascaperang.

"Kami membahas isu-isu yang terkait dengan persatuan nasional Palestina dan pembentukan pemerintahan yang akan memerintah Jalur Gaza setelah perang," kata Marzouk seperti dikutip oleh RIA.

Marzouk mengatakan bahwa Hamas telah meminta Rusia untuk mendorong Abbas, yang menghadiri pertemuan puncak BRICS di Kazan, untuk memulai negosiasi tentang pemerintahan persatuan.

Abbas adalah kepala Otoritas Palestina (PA), badan pemerintahan wilayah Palestina yang diduduki.

PA dibentuk tiga dekade lalu berdasarkan perjanjian perdamaian sementara yang dikenal sebagai Kesepakatan Oslo.

PA menjalankan pemerintahan terbatas atas sebagian wilayah Tepi Barat yang diduduki, yang diinginkan Palestina sebagai inti negara merdeka di masa depan.

PA dikendalikan oleh faksi politik Fatah, pimpinan Abbas.

Presiden Rusia Vladimir Putin berjabat tangan dengan Presiden Negara Palestina Mahmoud Abbas sebelum dimulainya KTT BRICS XVI di kota Kazan, barat daya Rusia, pada Rabu (23/10/2024).
Presiden Rusia Vladimir Putin berjabat tangan dengan Presiden Negara Palestina Mahmoud Abbas sebelum dimulainya KTT BRICS XVI di kota Kazan, barat daya Rusia, pada Rabu (23/10/2024). (Kristina Kormilitsyna/Handout/brics-russia2024.ru)

PA telah lama memiliki hubungan yang tegang dengan Hamas, gerakan yang menguasai Gaza.

Kedua faksi tersebut sempat terlibat perang singkat sebelum Fatah diusir dari wilayah Gaza pada tahun 2007.

Baca juga: Al Jazeera Bantah Tuduhan Israel yang Sebut 6 Jurnalisnya Anggota Hamas atau PIJ

Sementara itu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, telah menyatakan penentangan keras terhadap keterlibatan PA dalam mengelola Gaza.

Rencana Netanyahu Terhadap Gaza setelah Perang

Dilansir Al Jazeera, pada 3 Mei 2024, Netanyahu menerbitkan rencana pascaperang untuk Gaza.

Menurut rencana tersebut, warga Palestina di Gaza disebut akan menikmati kemakmuran yang tak tertandingi.

Investasi besar-besaran telah digariskan, termasuk pelabuhan bebas, energi surya, pembuatan mobil listrik, dan masyarakat yang diuntungkan dari ladang gas Gaza yang baru ditemukan.

Skema itu akan terjadi dalam tiga tahap, dari “tanggal kemenangan” yang tidak ditentukan hingga tahun 2035.

Warga Palestina di Gaza akan menjalankan rencana tersebut, dengan diawasi oleh koalisi negara-negara Arab.

Koalisi tersebut meliputi Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, Bahrain, Yordania, dan Maroko.

Secara politis, setelah Gaza “dideradikalisasi” dan trauma perang “dilupakan,” Gaza akan bergabung dengan Tepi Barat yang diduduki, yang saat ini berada di bawah administrasi PA, dan mengakui Israel melalui Perjanjian Abraham.

Namun, Israel akan mempertahankan hak untuk bereaksi terhadap apa pun yang dilihatnya sebagai “ancaman keamanan” dari Gaza.

Setelah berhasil, skema tersebut dapat diluncurkan di seluruh Suriah, Yaman, dan Lebanon.

Apakah rencana Netanyahu realistis?

Pada tanggal 2 Mei 2024, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa pembangunan kembali Gaza akan menjadi upaya rekonstruksi pascaperang terbesar sejak berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945.

Menurut Program Pembangunan PBB, sekitar 70 persen dari semua perumahan telah hancur.

Di luar trauma yang dialami oleh penduduk daerah kantong itu, Gaza akan membutuhkan sedikitnya $40-$50 miliar untuk membangun kembali.

Namun, tidak ditemukan adanya perkiraan biaya untuk rencana Netanyahu tersebut.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas