Krisis Tentara, Israel Ungkap Kesulitan Rekrut Pasukan Baru Akibat Perang Lawan Hamas dan Hizbullah
Israel mengeluh kesulitan merekrut prajurit baru untuk menghadapi serangan multi-front yang didukung Iran, Hizbullah, di Lebanon.
Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM – Israel terancam mengalami krisis pasukan, hal ini mencuat setelah pemerintah mengeluh kesulitan merekrut prajurit baru untuk menghadapi serangan multi-front yang didukung Iran, Hizbullah, di Lebanon.
"Kami sedang tenggelam," kata prajurit cadangan Ariel Seri-Levy dalam sebuah unggahan media sosial yang dibagikan ribuan kali.
"Kita harus mengakhiri perang ini karena kami kehabisan prajurit, pengorbanan yang dilakukan sudah terlalu besar," imbuhnya.
Melansir dari Al Arabiya, sejak 7 Oktober tahun lalu Israel diketahui telah memanggil sekitar 300.000 warga untuk bergabung menjadi tentara cadangan.
Namun jumlah pasukan tersebut tak cukup untuk menangkis serangan brutal dari multi-font yang didukung Iran, Hizbullah, di Lebanon.
Sebanyak 367 personel dilaporkan gugur di Gaza, sementara 37 lainnya gugur di Lebanon sejak Israel mulai beroperasi di sana pada 30 September.
Mengantisipasi krisis yang semakin mencekik, Israel akhirnya kembali melakukan rekrutmen besar-besaran.
Bahkan sekitar 18 persen dari ratusan ribu tentara cadangan itu, merupakan pria berusia di atas 40 tahun yang seharusnya sudah dibebaskan dari wajib militer.
Pemuda Israel Tolak Perintah Wajib Militer
Namun kebijakan rekrutmen besar-besaran mendapat kritikan keras dari para prajurit.
Banyak tentara cadangan yang mengeluhkan masa dinas yang diperpanjang, memaksa mereka meninggalkan kehidupan sehari-hari hingga enam bulan penuh.
Seorang anggota cadangan Israel mengatakan kepada AFP bahwa mereka telah kelelahan moral menghadapi perang yang tak kunjung selesai.
Baca juga: Israel Dilanda Krisis Pasukan, Netanyahu Putar Otak Wajibkan Anak Muda Wamil Paling Lama 3 Tahun
“Kolektif memang masih di atas kepentingan pribadi, tapi biayanya terlalu besar untuk keluarga saya,” ujarnya.
Imbas perintah ini, puluhan pemuda di Israel kompak menolak perintah Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu untuk melaksanakan wajib militer bersama Pasukan Pertahanan Israel (IDF) di jalur Gaza.
Penolakan sebagian besar dilakukan oleh anggota Grup Yesh Gvul, sayap kiri Israel sebagai bentuk protes atas kebijakan pemerintah terhadap warga Palestina.
Di laman media sosial X mereka berbondong-bondong menolak perintah wajib militer di tengah kondisi perang Israel-Palestina yang semakin memanas.
“Saya siap untuk terus menanggung akibatnya dan masuk penjara jika hal itu mencegah terjadinya dehumanisasi secara diam-diam. Mereka (warga Palestina) adalah manusia!,” kata Sophia Or, salah satu pemuda Israel yang pernah menjalani hukuman penjara karena menolak wajib militer.
Sebagian dari mereka menolak perintah ini dengan alasan menentang ideologi Netanyahu atas pendudukan tanah Palestina dan pengeboman warga sipil di Gaza yang telah menimbulkan genosida massal hingga lebih dari 36.170 nyawa melayang.
Sementara pasukan lainnya menjelaskan bahwa alasan mereka menolak perintah wamil karena selama masa pelatihan, para tentara mengalami kesenjangan yang serius dalam peralatan, profesionalisme, dan kurangnya sumber daya manusia.
Netanyahu Perintahkan Warga Ultra-Ortodoks Turun ke Medan Perang
Di tengah meningkatnya ancaman krisis pasukan, Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu putar otak merilis aturan baru.
Adapun aturan baru itu berisi perintah bagi warga Israel dari kelompok Yahudi ultra-ortodoks untuk ikut bergabung dengan pasukan militer ke medan perang di Jalur Gaza.
"Kami berencana untuk mewajibkan orang-orang ultra-ortodoks bergabung di IDF (militer Israel) dan pegawai sipil nasional. Kami juga tengah melakukan cara untuk mengenai rencana itu," ujar Netanyahu seperti dikutip dari Reuters.
Pernyataan tersebut dilontarkan Netanyahu, usai mencuatnya isu yang menyebut bahwa jumlah pasukan Israel di Gaza tengah mengalami krisis.
Sayangnya rencana tersebut mendapat kecaman dari sejumlah pihak, mereka menilai keputusan Netanyahu bertolak belakang dengan putusan Mahkamah Agung Israel pada 2018 silam yang mengecualikan warga ultra-ortodoks Israel melakukan wajib militer.
Sementara itu partai-partai ultra-Ortodoks beranggapan bahwa Netanyahu telah melupakan janjinya sebelum terpilih menjadi PM Israel.
Dimana saat itu Netanyahu berjanji memberikan hak Istimewa pada warga ultra-ortodoks agar ditangguhkan dari wajib militer apabila partai-partai ultra-Ortodoks mau membantu Netanyahu mendapatkan mayoritas suara di parlemen bersama dengan partai-partai nasionalis sayap kanan.
(Tribunnews.com/ Namira Yunia)