Angka Pernikahan di Tiongkok Relatif Rendah, Bisnis Perjodohan Menjamur
Angka pernikahan terus menurun di China sejak 2014, berikut sejumlah faktornya hingga disebut membuat bisnis perjodohan menjamur.
Editor: Wahyu Aji

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam kehidupan masyarakat Tiongkok kontemporer, cinta dan hubungan antarkedua pasangan sering kali dibayangi ekspektasi transaksional.
Mengutip Widelens Report, Jumat (7/2/2025), pernikahan di sana sering kali dipandang sebagai negosiasi dan kesepakatan bisnis, bukan hubungan tulus berlandaskan cinta.
Media tersebut menganalisis bahwa pendekatan materialistis ini diperburuk tekanan ekonomi dan norma-norma sosial.
Hal tersebut yang mengarah pada budaya yang mengesampingkan cita-cita romantis.
Hubungan yang lebih condong stabilitas keuangan dan status sosial dibandingkan ikatan emosional, menjadi masalah mendalam dalam masyarakat Tiongkok.
Sebab, cinta sering kali dikompromikan demi keuntungan materi.
Di Tiongkok, ekspektasi yang tinggi pada laki-laki dan perempuan membuat masyarakat sulit menemukan pasangan.
Merujuk pada tradisi, bahwa pria mesti menikah ketika besar dan perempuan harus dinikahi.
Hal itu dinilai menjadi wujud tekanan masyarakat pada generasi muda, untuk memulai keluarga pada usia tertentu, sehingga menambah beban terkait standar tinggi.
Saat Tahun Baru Imlek dimulai, kaum muda yang bekerja jauh dari rumah memulai perjalanan mereka kembali ke kampung halaman.
Di kampung halaman, keluarga mereka mulai mengkhawatirkan prospek pernikahan pemuda mereka.
Di sisi lain, pemerintah menerapkan kebijakan ketat satu anak untuk satu keluarga selama beberapa dekade.
Hal itu telah menciptakan ketidakseimbangan gender yang parah di Tiongkok.
Di daerah pedesaan, ketimpangan ini menyulitkan laki-laki muda untuk menemukan calon pengantin yang cocok.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.