Mengejar Tikus Hidung Babi dari Gunung Sojol hingga Dako
Menemukan tikus hidung babi di hutan perawan Sulawesi bukanlah hal mudah. Medan berat harus ditaklukkan.
Editor: Gusti Sawabi
Perjalanan menuju dataran di ketinggian sekitar 1.600 meter di atas permukaan laut itu seperti menyusuri tebing. Tim harus melewati hutan yang didominasi rotan. Cukup berbahaya.
Saat perjalanan pulang, salah satu peneliti Australia yang terlibat sempat jatuh. "Luka-luka. Tetapi, itu sudah biasa kami alami," kata Anang.
Hal menantang lain dalam perjalanan itu adalah menghadapi cuaca yang sering hujan. Matahari hanya bersinar sejam, kemudian tertutup lagi karena hujan. Belum lagi pacet yang sering menempel.
Sampai di atas bukan berarti perjuangan selesai. Sebab, proses koleksi tikus tak hanya memakan waktu semalam. Memasang jebakan dan mengambil tikus-tikus yang terjebak dilakukan berhari-hari.
Hingga suatu pagi ketika memeriksa jebakan, Kevin Rowe dari Australia menemukan spesimen menarik. Ia lantas berteriak kencang.
Rekan-rekan peneliti lain yang masih ada di kamp mendengar dan sudah mulai curiga temuan menarik didapatkan. Benar saja, ketika Kevin kembali, tikus unik datang.
"Kami langsung konfirmasi saat itu," ungkap Anang. Melihat karakteristik yang menonjol, para peneliti yakin tikus itu baru bagi ilmu pengetahuan.
Ciri yang sangat menonjol dari tikus ini adalah hidungnya yang seperti hidung babi. Ciri lainnya adalah adanya rambut yang sangat panjang di bagian dekat saluran kencing.
Panjang rambut urogenital sebenarnya hanya lima sentimeter. Namun, bagi tikus, itu panjang. Belum ada tikus dengan rambut urogenital sepanjang itu. Fungsi rambut itu pun belum jelas.
Tikus baru ini dinamai Hyorhinomys stuempkei. Nama genus "Hyorhinomys" diambil dari kata "hyro" yang berarti "babi", "rhino" yang berarti "hidung", dan "mys" yang berarti "tikus".
Sementara itu, nama spesies "Stuempkei" diambil dari nama samaran Gerolf Steiner, Harald Stuempke. Dia adalah penulis buku fiksi The Snouter yang bercerita tentang adanya tikus yang terpapar radiasi sehingga hidungnya menjadi panjang.
"Di Australia, Hyorhinomys lebih terlihat seperti tikus bilby, dengan kaki belakang yang besar, telinga besar dan panjang, serta moncong yang panjang dan meruncing," ungkap Kevin.
Tikus ini merupakan jenis ketiga yang ditemukan di Sulawesi dalam lima tahun terakhir. Sebelumnya, Anang dan tim telah menemukan tikus ompong (Paucidentomys vermidax) dan tikus air mamasa (Waiomys mamasae).
Meski beragam kesulitan harus dilalui, Anang mengungkapkan bahwa temuan sejumlah spesies di Sulawesi menjadikannya worth it, setimpal dengan hasil yang didapatkan.
Sejumlah temuan diharapkan bisa menggugah publik dan pemerintah untuk melestarikan alam Sulawesi yang unik. Lebih banyak kenanekaragaman yang harus diungkap. Siapa tahu, ada yang bisa memberi manfaat besar bagi manusia.