Obat Herbal yang Teruji Ampuh pada Hewan Belum Tentu Cocok untuk Manusia
Berhati-hatilah mengonsumsi obat herbal. Meski teruji ampuh pada hewan, belum tentu cocok untuk konsumsi manusia.
Penulis: Daniel Ngantung
Editor: Agung Budi Santoso
Laporan Wartawan Tribun Jakarta, Daniel Ngantung
TRIBUNNEWS.COM - Di tengah perkembangan teknologi kesehatan yang kian canggih, obat herbal ternyata masih menjadi pilihan banyak orang karena harganya yang relatif murah.
Menurut Riset Kesehatan Daerah (RISKESDAS) tahun 2010, 55,3 persen masyarakat Indonesia menggunakan jamu untuk menjaga kesehatan. Sebanyak 95,6 persen dari angka tersebut yakin bahwa jamu sangat bermanfaat untuk kesehatan.
Terlepas dari khasiatnya, masyarakat diimbau agar tetap berhati-hati terhadap segala jenis obat herbal. Pasalnya, tidak semua obat herbal teruji secara klinis. Bila dikonsumsi tanpa saran ahli medis, obat herbal malah berdampak buruk bagi kesehatan.
Oleh karena itu, pengetahuan soal klasifikasi obat herbal sangat penting untuk masyarakat ketahui.
Dalam presentasinya saat diskusi bertemakan "Dilema Dokter dalam Meresepkan Obat Herbal" yang digelar oleh SOHO Group di Hotel Le Meredien, Kamis (22/8/2013), dr.Arijanto Jonosewojo, SpPD, FINASIM menjelaskan klasifikasi obat tradisional.
Obat berbahan herbal atau obat tradisional diklasifikasi menjadi tiga yaitu jamu, obat herbal terstandar (standardized herbal medicines), dan fitofarmaka (phytopharmaceuticals).
Jamu adalah formula tradisional yang telah digunakan sejak ratusan tahun oleh nenek moyang. Obat ini umumnya digunakan tanpa studi pra klinis.
"Klaimnya bersifat empiris - hanya berdasarkan pengalaman saja," ujar Kepala Program Studi Obat Tradisional, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga itu.
Dia tidak menampik khasiatnya, namun Arijanto sangat menyarankan melakukan konsultasi dengan dokter sebelum mengonsumsi jamu.
"Di kalangan profesi medis, jamu direkomendasikan hanya untuk pencegahan bukan sebagai pengobatan," ungkap Arijanto.
Sementara klasifikasi obat herbal terstandar adalah obat herbal yang formulasinya berasal dari jamu atau penemuan obat herbal yang baru.
"Obat ini telah melewati penelitian klinis, khususnya uji toksisitas," ucap anggota Komite Nasional Jamu itu.
Pada dasarnya, kata Arijanto, tes obat herbal terstandar dilakukan pada hewan. "Teruji di hewan, tapi belum tentu berkhasiat untuk manusia," jelas dia lagi.
Umumnya, di kalangan profesi medis, obat herbal terstandar hanya digunakan untuk terapi alternatif (complementer alternative), bukan pengganti obat utama.
Yang ketiga adalah Fitofarmaka yaitu obat herbal yang telah teruji, baik secara pra klinis maupun klinis.
"Standarnya setara dengan obat-obatan resmi lain. Sayangnya, obat ini terbilang mahal karena biaya studi dan teknologi yang cukup besar untuk membuatnya," kata Arijanto.