Bukan Hanya yang Berduit, Orang Miskin Berhak Dapat Pelayanan Kesehatan
Trans-Pacific Partnership Agreement (TPP) yang sudah ditandatangani sejumlah negara menjadi ancaman maut
Penulis: Widiyabuana Slay
TRIBUNNEWS.COM - Trans-Pacific Partnership Agreement (TPP) yang sudah ditandatangani sejumlah negara menjadi ancaman maut yang siap mengancam akses obat murah untuk masyarakat ekonomi lemah atau orang miskin.
Bayangkan saja, jika orang miskin terkena HIV/AIDS, dibutuhkan dana sekitar 10 ribu dollar AS atau sekitar Rp 100 juta untuk mengobati satu pasien setiap tahun. Dengan jumlah 285 ribu pasien yang kini ditangani Médecins Sans Frontières (MSF) atau Dokter Lintas Batas di 21 negara maka TPP mengancam akses untuk mendapat perawatan HIV/AIDS.
Menurut Presiden Médecins Sans Frontières (MSF) atau Dokter Lintas Batas, Dr Unni Karanukara, kebanyakan obat generik diproduksi di Asia dan dengan obat ini biaya sudah turun hingga 99 persen menjadi kurang dari 140 dollar AS (Rp 1,4 juta) untuk satu pasien setiap tahun. Jika perjanjian TPP disetujui dengan adanya klausul bermasalah mengenai kekayaan intelektual, obat murah kini hanya tinggal menjadi kenangan saja.
"Sangat sulit bagi kami untuk memberikan bantuan jika harga obat melambung tinggi," kata Karunakara, dalam diskusi tertutup di Mandarin Oriental Hotel, Jakarta, Selasa (27/8/2013).
TPP dibuat tanpa adanya masukan dari publik. Sejumlah teks yang bocor ke MSF mengenai isi TPP menunjukkan Amerika Serikat (AS) memasukkan masalah hak kekayaan intelektual menjadi satu landasan dan praktik monopoli terhadap produksi obat-obatan membuat produksi obat generik terbatas dan obat-obat mahal sulit untuk dijangkau.
MSF, sebagai lembaga bantuan kemanusiaan internasional yang bertugas memberikan bantuan medis ke sejumlah warga yang terjebak dalam konflik, bencana alam, epidemi, menyerukan agar negara-negara yang ikut serta dalam negosiasi itu menolak ketentuan yang akan melukai hak orang miskin untuk mendapatkan layanan kesehatan melalui akses obat murah.