Curiga Anak Dapat Vaksin Palsu, Ini yang Harus Dilakukan dan Berikut Ciri-ciri Vaksin Palsu
Vaksin yang diberikan di fasilitas kesehatan, termasuk puskesmas dan rumah sakit, aman digunakan dan bisa diperoleh secara gratis.
Editor: Robertus Rimawan
TRIBUNNEWS.COM - Curiga anak Anda mendapat vaksin palsu? Jangan panik.
Ini yang harus Anda lakukan.
Pertama yakni melapor ke dokter anak, puskesmas atau rumah sakit terdekat.
Rumah sakit akan melakukan observasi dan nantinya akan diberikan vaksin baru.
Mengutip Kompas.com, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek mengatakan, anak yang mendapat vaksin palsu seharusnya kembali diimunisasi.
Sebab, mereka yang mendapat vaksin palsu tentu tidak mendapat manfaat kebal terhadap suatu penyakit.
"Harus divaksin ulang. Kalau ini isinya hanya cairan, tentu tidak berfungsi sama sekali. Jadi, kita berikan ulang pada mereka," kata Nila dalam jumpa pers di Kementerian Kesehatan, Jakarta, Jumat (24/6/2016) lalu.
Hasil penyelidikan sementara, vaksin palsu berisi cairan dan antibiotik yang kadarnya sangat sedikit.
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia dr Aman Pulungan, SpA mengungkapkan, kerugian terbesar jika mendapat vaksin palsu adalah tidak kebal.
"Misalnya divaksin palsu untuk hepatitis B, jadinya anak tidak kebal hepatitis B," kata Aman.
Untuk itu, saat ini masih dilakukan pendataan di mana saja yang menggunakan vaksin palsu dan berapa anak yang mendapatkannya.
Jumlahnya diperkirakan tidak terlalu banyak, karena mayoritas pemberian vaksin berasal resmi dari pemerintah.
"Kita akan lakukan dari data yang ada. Kita lakukan catch up imunisasi apa saja yang ketinggalan."
"Ketika ada terlambat imunisasi, kita harus kejar. Imunisasi kapan saja boleh dilakukan. Tidak ada kata hangus," jelas Aman.
Sebelumnya, kepolisian berhasil mengungkap kasus produksi vaksin palsu.
Dari hasil penyelidikan, diketahui sindikat tersebut memproduksi vaksin palsu sejak tahun 2003 dengan distribusi di seluruh Indonesia.
Namun, hingga saat ini, penyidik baru menemukan barang bukti vaksin palsu di tiga daerah, yakni Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta.
Sementara itu Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) memastikan vaksin yang dipakai IDAI berasal dari sumber yang benar.
Vaksin yang diberikan di fasilitas kesehatan, termasuk puskesmas dan rumah sakit, aman digunakan dan bisa diperoleh secara gratis.
Ketua Umum IDAI Aman Bhakti Pulungan menambahkan, munculnya kasus vaksin palsu bukan karena tak ada vaksin di lapangan.
Vaksin dipalsukan untuk mendapat keuntungan ekonomi.
Jika warga curiga anak balitanya diberi vaksin palsu, bisa melapor ke dokter anak terdekat agar diobservasi dampak akibat vaksin palsu itu.
Efeknya bergantung materi di vaksin palsu itu.
Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kemenkes Elizabeth Jane Soepardi mengatakan, belum ada laporan kejadian akibat vaksin palsu.
Anak balita yang diberi vaksin palsu akan diobservasi dan diberi vaksin yang benar agar terlindungi dari penyakit tertentu.
"Vaksin yang dipalsukan ialah imunisasi dasar wajib yang sebenarnya gratis dan diberikan di fasilitas kesehatan pemerintah."
"Fasilitas kesehatan swasta mendapatkan vaksin gratis dari dinas kesehatan," ujarnya.
Menindaklanjuti kasus vaksin palsu, BPOM memeriksa fasilitas kesehatan untuk menelusuri kemungkinan penggunaan vaksin palsu.
Sasaran utamanya, klinik swasta kecil yang belum bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.
"Kami sudah perintahkan kepada semua Balai Besar POM se-Indonesia," ucap Pelaksana Tugas Kepala BPOM Tengku Bahdar Johan Hamid.
Dinas Kesehatan DKI Jakarta memastikan bahwa warga tak bisa bebas membeli vaksin.
"Warga tak bisa membeli vaksin secara bebas, tetapi dapat memperoleh vaksin lewat dinas kesehatan atau puskesmas," kata Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Koesmedi Priharto.
Vaksin yang bisa diperoleh gratis di puskesmas adalah BCG, hepatitis B, pentavalen, DPT, polio, dan campak.
"Di puskesmas, masyarakat bisa mendapat vaksin itu secara gratis," ujarnya.
Koesmedi mengimbau kalangan rumah sakit membeli vaksin ke distributor resmi atau ke dinkes.
"Waspadai jika sumber vaksin tak jelas, harga lebih murah, atau label cetakan lebih kasar atau tutup aluminium kemasan mencurigakan, atau tak mau memakai faktur resmi," ujarnya.(*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.