Dokter Agung Ungkap Peredaran Obat Palsu di Apotek dan Rumah Sakit
Produsen dapat memberikan obat langsung ke beberapa apotek, hingga menitip ke dokter tanpa diketahui pemerintah.
Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terungkapnya peredaran vaksin palsu di tengah masyarakat mendorong adanya reformasi tata kelola kesehatan Indonesia, mengingat 13 tahun sudah vaksin palsu beredar tanpa diketahui siapapun.
Presidium Gerakan Moral Dokter Indonesia Bersatu, dr. Agung Sapta menyebut bahwa sistem distribusi obat dari produsen hingga ke konsumen kacau balau.
Produsen dapat memberikan obat langsung ke beberapa apotek, hingga menitip ke dokter tanpa diketahui pemerintah.
"Ini sebenarnya sah-sah saja. Tapi harus ada kejelasan dari berbagai sisi. Baik sisi pengawasan dari pemerintah serta instansi yang mengurusi peredaran obat," jelas Agung di Kawasan Kuningan, Jakarta, Minggu (24/7/2016).
Agung menguraikan bahwa tidak sedikit apotek bahkan rumah sakit yang menjual obat palsu untuk masyarakat.
Namun, mereka tidak mengerti apakah obat tersebut tergolong palsu atau tidak.
"Dengan merek obat yang sama, apotek A bisa menjual lebih murah dibanding apotek B. Bagaimana ini bisa terjadi kalau tidak ada permainan di dalam situ," tuturnya
Begitu juga dengan dokter yang memberikan resep obat, lanjut dokter spesialis anestesi tersebut, menganjurkan sebuah obat sesuai dengan hasil pemeriksaan kesehatan.
Sementara untuk mengetahui obat yang disediakan oleh rumah sakit atau apotek tentang keaslian obat, bukan lagi urusan dokter.
"Itu bukan ranah kami sebagai dokter. Karena vaksin ini kan, dokter jadi "Kambing Hitam" padahal saya sebagai dokter juga tidak tahu apakah obat yang ada di rumah sakit itu asli atau palsu," tambahnya.
Agung mengatakan bahwa reformasi kesehatan bukan hanya dalam mengelola distribusi atau pembuatan obat, secara sadar, pemerintah juga diminta untuk benar-benar mengawasi peredaran obat di masyarakat.
"Pemerintah juga harus mau mengakui saat ini sistem kesehatan kita sedang bobrok. Harus ada perombakan total dan menyeluruh," kata Agung.
Revisi Permenkes
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR RI, Nursuhud mengatakan bahwa panita kerja (Panja) Vaksin Palsu dalam hasil rapatnya meminta agar adanya perubahan empat peraturan menteri kesehatan (Permenkes).
Adapun keempat Permenkes itu adalah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, Peraturan Instalasi Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Mutu Obat pada Instalasi Farmasi Pemerintah.
"Ini semua agar tidak lagi terulang kasus yang sama. Kami tidak inginlah penerus generasi Indonesia diberikan vaksin palsu oleh orang yang tidak bertanggung jawab," kata Nursuhud.
Panja juga diharapkan tidak menggelar rapat secara tertutup karena akan luput dari pengawasan dan akan ada reduksi makna dalam menyelesaikan masalah vaksin palsu.
"Yang jelas, orang-orang yang ada di Panja ini kredibel atau tidak? Jangan sampai sama seperti yang ada di Satgas yang ketuanya justru orang dirjen," tambahnya.
Jika, orang-orang yang berada di Panja Vaksin Palsu banyak yang tidak kredibel, maka sikap untuk merekomendasikan hasil kepada pemerintah tidak akan maksimal.