Temuan Aliran Dana Rp 800 M dari Industri Farmasi ke Dokter Layak Diusut
"Selama ini kita diarahkan untuk membeli obat tertentu, kita tidak punya kuasa untuk menolak apa yang harus kita beli"
Penulis: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bahwa ada aliran dana Rp 800 miliar dari industri farmasi ke para dokter merupakan hal yang amat memprihatinkan.
Pengamat ekonomi politik Universitas Bung Karno (UBK) Jakarta Salamudin Daeng menilai, selama ini para dokter sudah seperti marketing perusahaan farmasi.
Konsumen, seringkali tidak bisa berkutik, tidak bisa menolak satu resep yang direkomendasikan dokter dengan merujuk produk obat dari industri farmasi tertentu.
Menurut Daeng, selama ini setiap penjualan obat ke pasien dikembalikan lagi beberapa persen sebagai fee untuk para oknum dokter dan hal itu sudah berlangsung lama.
"Selama ini kita diarahkan untuk membeli obat tertentu, kita tidak punya kuasa untuk menolak apa yang harus kita beli," tegas Daeng, Kamis (22/9/2016).
Dalam bahasa bisnis, kata Daeng, saat ini sebagian oknum dokter sudah menjadi marketingnya para perusahaan farmasi dan rumah sakit hanya jadi toko obat.
Hal tersebut diperburuk oleh orientasi kesehatan masyarakat yang masih sempit seputar dunia kesehatan yang membuat mereka menjadi objek industri farmasi.
Daeng, mengutip pernyatan Prof. dr. Raden Mochtar, pendiri Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, mengatakan, pada dasarnya, berdagang itu baik, profesi dokter itu mulia. Tapi bila profesi dokter digabungkan dnegan pekerjaan berdagang, maka dampaknya akan sangat mengerikan.
"Pekerjaan dokter itu baik, berdagang itu baik, tetapi gabungan pekerjaan dokter dan berdagang adalah pekerjaan yang paling buruk di dunia. Itu diucapkan almarhum Prof Raden Mochtar," katanya.
Terkait aliran dana seperti temuan PPATK, Daeng berhara hal tersebut ditelusuri serius, termasuk untuk menemukan dugaan adanya oknum pejabat di Kementerian Kesehatan yang ikut kecipratan.
"Kita kan tidak tahu, tapi tidak mungkin kosonglah. Kalau ada dokter menyalahgunakan profesi, sementara oknum di Kementerian Kesehatan menyalahgunakan kekuasaan, harus ada bukti dan ditelusuri, meski fakta di lapangan saat ini biaya dan obat-obatan obatan sudah mencapai langit ke tujuh," ungkapnya.
Ia mengingatkan, kecurigaan ke Kemenkes beralasan karena lembaga itu juga seringkali menjadi perpanjangan indurstri farmasi.
Kemenkes saja seringkali tidak taat ke DPR dan Presiden, misal dalam hal kebijakan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang menurutnya seringkali mendahului kebijakan Presiden.
Sebelumnya, KPK mengakui telah menerima laporan mengenai aliran keuangan mencurigakan yang diduga berasal dari pabrik farmasi kepada sejumlah dokter.
Laporan yang KPK terima dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tersebut jumlahnya mencapai Rp 800 miliar.
"Itu baru kami terima dari PPATK, baru dua pekan lalu," ujar Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati di Gedung KPK Jakarta, Jumat (16/9/2016).
Menurut Yuyuk, KPK masih harus menganalisis dan menelusuri indikasi korupsi dalam aliran dana mencurigakan tersebut.