Astra Daihatsu DSO DKI 1 Gelar Sosialisasi Thalasemia ke Siswa SMK di Jakarta Selatan
Saat ini diperkirakan terdapat 9.000 penderita thalasemia dengan sekitar 40 persen diantaranya berada di Jawa Barat.
Penulis: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyakit thalasemia kini menjadi ancaman bagi kehidupan masyarakat di Indonesia lantaran jumlah penderitanya terus bertambah akibat kurangnya informasi dan pemahaman masyarakat tentang penyakit generatif ini.
Penyakit ini diturunkan ke anak dari orangtua, pria dan wanita penderita thalasemia lalu melakukan pernikahan.
Mereka yang menderita penyakit ini produktivitasnya menjadi menurun dan terus menerus harus menjalani transfusi darah yang menghabiskan banyak biaya.
Saat ini diperkirakan terdapat 9.000 penderita thalasemia dengan sekitar 40 persen diantaranya berada di Jawa Barat.
Menyikapi perlunya menyebarluaskan bahaya penyakit thalasemia, dealer Astra Daihatsu Pondok Pinang, Jakarta Selatan, menggelar kegiatan sosialisasi pencegahan penyakit thalasemia kepada sekitar 80-an siswa sekolah menengah kejuruan (SMK) kelas 12 di SMK YP Mulia di Kompleks Perhubungan, Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
Erni Cahyawati, Area Administrasi Koordinator DKI 1 Astra International Daihatsu Sales Operation mengatakan, kegiatan edukasi pencegahan thalasemia ini menjadi bagian dari kegiatan corporate social responsiblity (CSR) Astra Daihatsu Pondok Pinang.
Dealer Astra Daihatsu Pondok Pinang berada di bawah Astra Daihatsu DSO DKI 1 yang mencakup wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Tangerang Raya dan Serang.
"Tahun ini kita memberikan edukasi di 3 lokasi. Yang sudah dilakukan di sebuah SMK di Karawaci pada 10 September 2018 lalu.
Satu kegiatan edukasi lainnya akan kita selenggarakan di Jakarta Pusat dilanjutkan dengan kegiatan screening darah gratis, dan fun day, sekitar awal Oktober," ungkap Erni.
Erni menjelaskan, kegiatan edukasi ini mencakup pemberian wawasan ke siswa tentang penyakit thalasemia yang diturunkan secara genetik, metode penanganan dan cara mencegah.
Di masa lalu penderita thalasemia usia 16 tahun meninggal. Kini mereka memiliki usia lebih panjang hingga 30 tahun, bahkan ada yang menikah setelah paham bagaimana cara menangani penyakit mematikan ini.
"Kegiatan edukasi ini membantu memutus mata rantai penyebaran penyakit thalasemia. penderita thalasemia mayor dengan sesama mayor akan menghasilkan anak yang 100 persen penderita thalasemia," jelas Erna Cahyawati.
Dia menambahkan, masyarakat yang positif menderita thalasemia mayor harus rutin menjalani cuci darah, menerima donor darah, dan minum obat rutin.
"Karena itu screening darah penting sebelum lakukan pernikahan untuk mengetahui kondisi darah apakah terkena thalasemia atau tidak," ungkapnya.
"Penderita thalasemia juga tidak boleh terlalu capek."
Wakil Kepala Sekolah SMK YP Mulia, Evi Trihandayani, menilai kegiatan edukasi ini sangat bermanfaat bagi siswa-siswi SMK YP Mulia.
Baca: Pahala Mansury: Dicopot dari Kursi Dirut Garuda, Dipasang Jadi Direktur Keuangan Pertamina
"Karena pengetahuan tentan thalasaemia ini tidak diajarkan di sekolah. Kita yang tidak tahu jadi tahu.
Ini sosialisasi pertama kali tentang thalasaemia yang diberikan di sekolah kami. Diikuti sekitar 80-an siswa," ungkap Evi Trihandayani.
Kegiatan edukasi ini menghadirkan pembicara dari Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalassaemia Indonesia (POPTI), Ruswandi.
Ruswandi menjelaskan, di Indonesia ada 3 lembaga yang serius menaruh perhatian pada penyakit thalasaemia. Yakni, Perhimpunan Orangtua Thalasaemia Indonesia, Yayasan Thalasaemia Indonesia, dan Perhimpunan Penyandang Thalasaemia.
Ruswandi memaparkan, thalasaemia adalah penyakit kelainan darah yang terkena sejak masa kanak-kanak, bukan jenis penyakit menular, tapi karena faktor keturunan yang diturunkan oleh kedua orangtuanya (faktor genetik).
"Penyakit ini dapat dicegah," kata dia.
Ada tiga macam thalasaemia. Yakni thalasaemia minor/trait atau carrier, tubuhnya sehat, tapi jadi pembawa penyakit ini sejak lahir.
Thalasaemia intermediate atau anemia minor yang hanya membutuhkan transfusi darah dua sampai tiga kali dalam setahun.
Ketiga, thalasaemia mayor, yang membuat penderitanya harus jalani transfusi darah seumur hidup setiap bulan.
"Thalasemia jenis ini memerlukan biaya yang tidak sedikit, sangat mahal. Biaya berobat per anak bisa mencapai Rp 10 juta per bulan. Jadi kalau dalam keluarga ada anak penderita thalasaemia mayor, sangat memberatkan ekonomi keluarga," ungkap Ruswandi yang sejak 20 tahun lalu merawat anaknya yang positif menderita thalasemia.